Selasa, 24 Mei 2016

Urgensi Pendidikan Kesehatan Reproduksi Sejak Dini

  MEMPERINGATI HARI HIV/AIDS SE DUNIA 1 DESEMBER 2015
Kekerasan Pada Anak dan HIV/AIDS ; Siapakah yang bertanggung jawab ?

Oleh : Dewi Rokhmah*
*Dosen di Bagian PKIP FKM Universitas Jember, Pengurus Perhimpunan Sarjana Kesehatan Masyarakat Indonesia (PERSAKMI) dan sedang menyelesaikan Pendidikan
Program Doktoral di FKM Universitas Airlangga Surabaya

Realitas Kekerasan pada Anak
Pada saat ini kasus kekerasan seksual pada anak menjadi berita yang sering muncul di berbagai media baik cetak maupun elektronik. Masyarakat tentunya masih ingat kasus siswa di JIS (Jakarta International School) yang menjadi korban pelecehan dan kekerasan seksual oleh guru dan petugas cleaning service, kemudian kasus Emon di Jawa Barat yang melakukan pelecehan seksual pada puluhan anak-anak laki-laki dibawah umur, yang notabene adalah teman bermainnya, serta yang paling hangat kasus PNF, gadis cilik malang di Jakarta yang berakhir tragis ditemukan tidak bernyawa di dalam kardus. Dan penyelidikan pihak kepolisian menunjukkan adanya indikasi kekerasan seksual (maaf : pemerkosaan) dilakukan oleh pelaku yang tidak lain adalah tetangga dari PNF, dan lagi banyak kasus yang lainnya.
Tindak kekerasan seksual pada anak menjadi topik yang menarik untuk dikaji lebih lanjut karena kasus yang ditemukan semakin bervariasi baik dari sisi modus pelaku maupun usia korbannya. Karena anak-anak sebagai korban merupakan pihak yang secara fisik dan psikologis lemah yang dimanfaatkan oleh orang dewasa yang kebanyakan dari kasus yang ada memiliki hubungan dekat dengan mereka, misalnya, paman, penjaga sekolah, sopir, dsb. Di satu sisi, kekerasan seksual sebagai bentuk agresi seksual dengan cara paksa yang disertai dengan ancaman dan bukan dalam arti ajakan suka rela untuk melakukan hubungan seksual pada dasarnya adalah suatu bentuk tindak kejahatan yang dinilai sangat  menganggu ketentraman, menimbulkan rasa trauma bagi masyarakat, terlebih lagi korban (Hariadi dkk, 2000). Maraknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia telah menjadi sorotan banyak pihak, bahkan media massa menyebutkan bahwa tahun 2013 merupakan tahun darurat pelecehan seksual anak Indonesia karena tingginya angka kasus terjadinya pelecehan seksual pada anak.
Menurut Consultation On Child Abuse Prevention (WHO,1990), terdapat lima jenis perlakuan Kekerasan Terhadap Anak antara lain kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan emosional, penelantaran anak, dan eksploitasi anak. Angka kasus kekerasan seksual pada anak meningkat setiap tahunnya. Data Penelitian oleh Simons et al (2008) di USA menunjukkan bahwa pada kasus pemerkosaan anak, dilaporkan karena pelaku 73% melakukan dengan kekerasan pada anak, 65% telah terpapar pornografi pada usia dibawah 10 tahun, dan melakukan masturbasi sebanyak 60% dibawah usia 11 tahun, serta melakukan aktifitas eksual dengan binatang sebanyak 38%. Menurut Komnas Perlindungan Anak, pada semester pertama tahun 2013, terdapat 294 kasus (28%) kekerasan fisik, 203 kasus (20%) kekerasan psikis, dan 535 kasus (52%) adalah kekerasan seksual.  Itu berarti setiap bulan terdapat 90-100 anak mengalami kekerasan seksual. Dimana bentuk kekerasan seksual berupa sodomi(52 kasus), pemerkosaan (280 kasus) dan pencabulann (182 kasus) serta incest (21 kasus) (Anastasia, 2013).
Bagaimanakah dengan di Kabupaten Jember? Sebagai gambaran berdasarkan data pendampingan korban oleh Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) BP2KB Kabupaten Jember pada tahun 2011 mencatat kasus kekerasan terhadap anak sebesar 47 korban dimana bentuk kekerasan yang dialami anak sebesar 87% adalah kekerasan seksual. Pelaku kekerasan ini tidak lain adalah keluarga atau kerabat dekat, dengan jenis kekerasan terhadap korban yang terbesar adalah kekerasan seksual sebesar 41 korban (87%), yang terkecil adalah kekerasan fisik, kekerasan psikis dan perdagangan orang (human trafficking) sebesar 1 korban (2%).
  
Dampak Kekerasan anak dan HIV/AIDS
Kasus HIV dan AIDS yang dilaporkan oleh Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Propinsi Jawa Timur sampai dengan Bulan Juni tahun 2015, secara kumulatif di Jawa Timur telah ditemukan kasus HIV/AIDS sebanyak 13.925 kasus. Berdasarkan faktor risiko, kasus tertinggi berasal dari perilaku heteroseks sebesar 79,33%, kemudian IDU sebesar 12,17%, homoseks sebanyak 3,76%, perinatal sebesar 3,53%, dan Biseks sebesar 0,86% serta lain-lain sebesar 0,34% (Komisi Penanggulangan AIDS Propinsi Jawa Timur, 2015). Kondisi ini juga tidak jauh berbeda dengan di Kabupaten atau Kota di Jawa Timur. Artinya bahwa perilaku berisiko seperti hubungan seks yang tidak aman baik secara heteroseks maupun homoseks serta penyalahgunaan narkoba (IDU) memberikan kontribusi yang cukup besar terhadapa munculnya kasus HIV dan AIDS di masyarakat.
Penyebab atau alasan seseorang menjadi homoseks masih menjadi perdebatan, apakah disebabkan oleh kelainan secara biologis dimana didalamnya terdapat kelainan secara hormonal dan kromosom atau disebabkan oleh lingkungan seperti trauma masa kecil, atau sering diperlakukan sebagai seorang perempuan, pernah mengalami pelecehan seksual, menyaksikan berbagai kejadian seksual dan lain sebagainya (Kartono, 1989). Beberapa penelitian menyebutkan bahwa penyebab seseorang memiliki orientasi seksual yang “menyimpang” atau tidak normal seperti homoseksual (lesbian, Gay, Biseks dan transgender atau waria) adalah pola asuh orang tua yang keras (koersif). Akibatnya pola mendidik anak sangat keras, terutama ayah yang sangat temperamental dan kerap melakukan keserasan fisik dan psikologis pada ananknya. Hubungan buruk dengan orang tua merupakan hal serius karena mengurangi perasaan aman anak. Anak yang mengalami kekurangan hubungan dengan orang tua akan mengalami trauma emosional yang hebat (Hurlock, 2004). Akibatnya anak akan kehilangan figur ayah yang menjadi pelindung dan panutan di dalam keluarga. Sehingga dia kan mencari figur orang tua di luar rumah. Hal ini yang menimbulkan kerawanan dari anak-anak dan remaja mengalami kekerasan di luar rumah.
 Seseorang ketika menjadi homoseks lebih karena identifikasi dan asimilasi peran seks yang tak seharusnya didapat pada masa anak-anak (Siahaan, 2009). Yang termasuk dalam kategori ini lebih disebabkan karena pola asuh orang tua dalam hal ini adalah ayah yang keras dan temperamental. Dalam perspektif belajar, anak belajar bertingkah laku agresif melalui imitasi atau model terutama dari orang tuanya, guru dan anak-anak lainnya. Kekerasan biasanya bersifat turun temurun, sebab anak-anak akan belajar tentang bagaimana akan berhadapan dengan lingkungan dari orang tuanya (Margaretha dkk, 2013). Pada fase identifikasi saat anak berusia 6-8 tahun inilah peran pola asuh orangtua sangat menentukan. Keadaan dimana seseorang mengalami stess bahkan depresi karena kehilangan figure ayah maka menyebabkan secara mental seorang anak mengalami gangguan. Anak laki-laki harus mendapat perhatian cukup dari figur ayah dan anak perempuan dari figur ibu. Pada saat tidak terjadi keseimbangan peran ayah dan ibu dalam hubungannya dengan anak, si anak akan mengambil alih identitas psikoseksual yang tidak tepat. Misalnya anak laki-laki yang tidak mendapat peran figur ayah yang cukup, ayah terlalu keras terhadap anak, otomatis lebih dekat dengan sosok ibu. Apabila diteruskan, anak lelaki itu akan mengambil alih karakteristik perempuan, termasuk orientasi seksualnya. Teori lain menyebutkan bahwa selama fase odipal conflict ada ketakutan atau dendam kepada figur ayah (castration anxiaty) dikatakan bisa mengubah anak laki-laki untuk menjauhi ibunya sebagai obyek seksual dan pada akhirnya pada semua perempuan (Pambudy dan Fitrianto, 2009).
Penelitian lain oleh Hidayangsih dkk (2009) menyebutkan terdapat korelasi yang signifikan antara KDRT (kekerasan dalam Rumah Tangga) dengan perillaku berisiko. Analisis korelasional menemukan hubungan antara trauma masa kanak-remaja dengan tingkat agresivitas masa dewasa adalah signifikan dan positif (Margaretha dkk, 2013). Kondisi dimana dalam pola asuh orang tua, memungkinkan adanya gangguan relasi antara anak dan orang tua, yang sifatnya tidak harmonis, kontroversi, kejam, penuh kemunafikan, tidak adanya relasi yang baik antara ayah dengan anak laki-laki, konstelasi keluarga yang patologis, semua menjadi fasilitas atau predisposisi untuk perkembangan penyimpangan-penyimpangan seksual (Kartono, 1989). Penyimpangan yang dimaksud pada para korban kekerasan seksual adalah adanya orientasi seksual menyimpang pada saat dewasa seperti homoseks yang selalu diidentikan dengan gaya hidup seksual (sexual lifestyle) yang melekat dalam dirinya yang dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan budaya yang ada disekitarnya serta berdampak pada kesehatannya, karena tingginya risiko penularan terhadap Infeksi Menular Seksual (IMS) termasuk didalamnya HIV dan AIDS.
Sisca dan Moningka (2009) mengatakan bahwa kekerasan seksual yang terjadi pada masa kanak-kanak merupakan suatu peristiwa krusial karena membawa dampak negatif pada kehidupan korban di masa dewasanya. kekerasan seksual yang terjadi tidak sesederhana dampak psikologisnya. Korban akan diliputi perasaan dendam, marah, penuh kebencian yang tadinya ditujukan kepada orang yang melecehkannya dan kemudian menyebar kepada obyek-obyek atau orang-orang lain (Fuadi, 2011). Dalam studi empiris telah mengindikasikan bahwa adanya reaksi yang permanen pada populasi korban kekerasan seksual pada anak yang meliputi : ketakutan, gelisah, depresi, marah dan penuh kebencian, agresi, dan perilaku seksual yang menyimpang (Brown & Finkelhor, 1986).
Solusi Efektif Mencegah Kekerasan Pada Anak
            Dari paparan kondisi yang disebutkan di atas, diperlukan upaya pencegahan sejak dini pada anak dalam melindungi mereka dari sex predators. Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam mencegah terjadinya kekerasan seksual pada anak adalah dengan meningkatkan perilaku (pengetahuan, sikap dan tindakan) anak-anak tentang kesehatan reproduksi, sehingga mereka mampu untuk menolak terhadap kejadian kekerasan seksual yang dialaminya. Pendidikan kesehatan reproduksi pada anak-anak sekolah sangat efektif untuk memberikan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi sehingga manfaat diberikannya pendidikan tersebut bisa tercapai. Usia anak didik yang biasa masuk bangku sekolah dasar baik negeri atau swasta yaitu 7-13 tahun. Anak dalam golongan ini masih dalam taraf pertumbuhan dan perkembangannya, hingga masih mudah dibimbing dan dibina untuk menanamkan kebiasaan hidup sehat sehari-hari (Natalina, 2009). Minat pada seks lebih besar setelah anak masuk sekolah karena hubungan dengan teman sebaya bertambah kerap dan erat, berbeda dengan waktu pergaulan mereka terbatas pada kelompok bermain di lingkungan sekitar rumah. Sepanjang masa sekolah, minat pada seks meningkat, dan biasanya mencapai puncaknya selama periode perubahan pubertas (Hurlock, 1978) . Untuk membekali agar siswa dapat menyadari hak-haknya secara baik, sudah barang tentu kepada mereka perlu diberikan pembekalan tentang Kekerasan Terhadap Anak (child abuse), pengertian dan batasan child abuse, dampak child abuse dan sebagainya, yang intinya di masa yang akan datang program penanganan child abuse di lingkungan sekolah ini dapat ditangani sendiri oleh anak secara mandiri  (Suyanto et al, 2000).
Oleh sebab itu perlu adanya peran sekolah dalam meningkatkan pengetahuan siswa sekolah dasar tentang perilaku sederhana dalam menjaga organ reproduksi, yang meliputi: menjaga kebersihan alat vital dengan membersihkan dengan air setelah buang air, mengganti celana dalam minimal dua kali sehari, serta menggunakan toilet pada saat buang air. Tingginya kasus kekerasan seksual  pada anak (child abuse) yang dilakukan oleh orang-orang terdekat anak termasuk keluarga menunjukkan pentingnya pemahaman akan pendidikan seks pada usia dini. Berkenaan dengan domain hubungan yang menghambat pengungkapan seringkali dikaitkan dengan jurang pemisah. Selama ini membicarakan dan mendiskusikan masalah seksualitas sangat sulit dilakukan karena menganggap sesuatu yang rahasia, ditambah lagi stuktur sosial yang tidak mendukung (Suryani, 2012). Masalah pendidikan seks di kalangan masyarakat awam dianggap hal yang tabu dan belum waktunya diberikan pada anak-anak. Sehingga orang tua menyerahkan masalah pendidikan termasuk pendidikan seks pada sekolah.
Upaya dalam rangka meminimalkan dampak negatif yang lebih menghawatirkan ketika anak mengalami pelecahan atau kekerasan seksual adalah menanamkan softskill keberanian dan percaya diri untuk menangkal pelecehan seksual. Adapun upaya awal yang dapat dilakukan oleh anak-anak ketika mengalami pelecahan dan kekerasan seksual (misal : diraba alat vitalnya oleh orang asing) adalah dengan cara melawan, berteriak, kemudian lari menuju pada orang tua atau orang lain yang dikenal. Hal ini seperti pada implementasi pelajaran Personal Social Health Education (PSHE) di Inggris Raya di tingkat Key Stage 2 (ekivalen dengan kelas 4-6 SD). Pada tahap ini, anak didik diajarkan pengetahuan, keterampilan dan pemahaman mengenai: 1) kepercayaan diri dan tanggung jawab, memanfaatkan bakat dan kemampuan mereka, 2) menghadapi tantangan perilaku menyimpang dari luar dan mampu membuat pilihan yang sehat dan bertanggung jawab. Anak didik belajar bagaimana mereka tumbuh dan berkembang, mengalami perubahan fisik maupun kejiwaan baik sebagai individu maupun anggota masyarakat. Mereka menjadi lebih matang, mandiri dan percaya diri. Semua perubahan tersebut yang terjadi pada masa pubertas, juga akan mengiringi transisi mereka dari SD ke Sekolah Menengah. Perubahan ini tentunya membutuhkan dukungan dan motivasi dari sekolah. Seyogyanya mereka mendapatkan bekal pengetahuan, pemahaman dan keterampilan tentang kesehatan reproduksi remaja, lingkungan yang sehat, tanggung jawab perilaku sehat dan menjadi agen promosi kesehatan bagi kelompoknya (Pertiwi, 2012).
Bagaimana dengan peran pemerintah setempat ? Setidaknya kita bisa belajar upaya yang pernah dilakukan oleh Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Beencana (BP2KB) Kabupaten Jember pada tahun 2013 dengan memberikan pelatihan singkat pada para guru PAUD, TK dan serta SD tentang bagaimanakah mengajarkan ke anak didik tentang pengenalan tubuh dan upaya menjaganya dari tindak pelecehan seksual. Selain itu, kita bisa belajar dari Bu Risma Walikota Surabaya yang turut serta dalam program TANGKIS yang dilakukan oleh Yayasan Peduli Anak bekerjasasama dengan Jawa Pos untuk mensosialisasikan kemandirian anak-anak usia playgroup dan TK untuk berani menolak dan berteriak apabila ada orang asing yang menyakiti mereka.
Selain pihak sekolah dan pemerintah, keluarga juga bisa mengambil peran dengan melakukan upaya preventif dalam lingkup kehidupan keluarga dengan memberikan pola asuh dan kasih sayang yang tepat dalam perkembangan dari masa anak-anak, remaja dan sapai pada masa dewasanya. Selain itu, menciptakan komunikasi yang terbuka antara anak dan orang tua menjadi hal yang mutlak untuk bisa memahami permasalahan anak kita. Agar mereka tidak mencari tempat curhat yang tidak tepat seperti dari internet atau teman sebaya mereka yang belum tentu informasi yang mereka dapatkan benar dan tepat. Kita bisa mengutip ungkapan dari seorang Psikolog terkenal di Jakarta yang mengungkapkan bahwa kegagalan sebagai orang tua adalah ketika dirinya tidak menjadi tempat curhat anaknya. Semoga hal ini bisa menjadi renungan kita semua, sebagai orang yang sangat peduli dengan kesejahteraan anak-anak kita.

(OPINI ini dimuat pada Jawa Pos Radar Jember dalam rangka refleksi peringatan World AIDS Day 1 Desember 2015)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar