Selasa, 24 Mei 2016

Urgensi Pendidikan Kesehatan Reproduksi Sejak Dini

  MEMPERINGATI HARI HIV/AIDS SE DUNIA 1 DESEMBER 2015
Kekerasan Pada Anak dan HIV/AIDS ; Siapakah yang bertanggung jawab ?

Oleh : Dewi Rokhmah*
*Dosen di Bagian PKIP FKM Universitas Jember, Pengurus Perhimpunan Sarjana Kesehatan Masyarakat Indonesia (PERSAKMI) dan sedang menyelesaikan Pendidikan
Program Doktoral di FKM Universitas Airlangga Surabaya

Realitas Kekerasan pada Anak
Pada saat ini kasus kekerasan seksual pada anak menjadi berita yang sering muncul di berbagai media baik cetak maupun elektronik. Masyarakat tentunya masih ingat kasus siswa di JIS (Jakarta International School) yang menjadi korban pelecehan dan kekerasan seksual oleh guru dan petugas cleaning service, kemudian kasus Emon di Jawa Barat yang melakukan pelecehan seksual pada puluhan anak-anak laki-laki dibawah umur, yang notabene adalah teman bermainnya, serta yang paling hangat kasus PNF, gadis cilik malang di Jakarta yang berakhir tragis ditemukan tidak bernyawa di dalam kardus. Dan penyelidikan pihak kepolisian menunjukkan adanya indikasi kekerasan seksual (maaf : pemerkosaan) dilakukan oleh pelaku yang tidak lain adalah tetangga dari PNF, dan lagi banyak kasus yang lainnya.
Tindak kekerasan seksual pada anak menjadi topik yang menarik untuk dikaji lebih lanjut karena kasus yang ditemukan semakin bervariasi baik dari sisi modus pelaku maupun usia korbannya. Karena anak-anak sebagai korban merupakan pihak yang secara fisik dan psikologis lemah yang dimanfaatkan oleh orang dewasa yang kebanyakan dari kasus yang ada memiliki hubungan dekat dengan mereka, misalnya, paman, penjaga sekolah, sopir, dsb. Di satu sisi, kekerasan seksual sebagai bentuk agresi seksual dengan cara paksa yang disertai dengan ancaman dan bukan dalam arti ajakan suka rela untuk melakukan hubungan seksual pada dasarnya adalah suatu bentuk tindak kejahatan yang dinilai sangat  menganggu ketentraman, menimbulkan rasa trauma bagi masyarakat, terlebih lagi korban (Hariadi dkk, 2000). Maraknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia telah menjadi sorotan banyak pihak, bahkan media massa menyebutkan bahwa tahun 2013 merupakan tahun darurat pelecehan seksual anak Indonesia karena tingginya angka kasus terjadinya pelecehan seksual pada anak.
Menurut Consultation On Child Abuse Prevention (WHO,1990), terdapat lima jenis perlakuan Kekerasan Terhadap Anak antara lain kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan emosional, penelantaran anak, dan eksploitasi anak. Angka kasus kekerasan seksual pada anak meningkat setiap tahunnya. Data Penelitian oleh Simons et al (2008) di USA menunjukkan bahwa pada kasus pemerkosaan anak, dilaporkan karena pelaku 73% melakukan dengan kekerasan pada anak, 65% telah terpapar pornografi pada usia dibawah 10 tahun, dan melakukan masturbasi sebanyak 60% dibawah usia 11 tahun, serta melakukan aktifitas eksual dengan binatang sebanyak 38%. Menurut Komnas Perlindungan Anak, pada semester pertama tahun 2013, terdapat 294 kasus (28%) kekerasan fisik, 203 kasus (20%) kekerasan psikis, dan 535 kasus (52%) adalah kekerasan seksual.  Itu berarti setiap bulan terdapat 90-100 anak mengalami kekerasan seksual. Dimana bentuk kekerasan seksual berupa sodomi(52 kasus), pemerkosaan (280 kasus) dan pencabulann (182 kasus) serta incest (21 kasus) (Anastasia, 2013).
Bagaimanakah dengan di Kabupaten Jember? Sebagai gambaran berdasarkan data pendampingan korban oleh Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) BP2KB Kabupaten Jember pada tahun 2011 mencatat kasus kekerasan terhadap anak sebesar 47 korban dimana bentuk kekerasan yang dialami anak sebesar 87% adalah kekerasan seksual. Pelaku kekerasan ini tidak lain adalah keluarga atau kerabat dekat, dengan jenis kekerasan terhadap korban yang terbesar adalah kekerasan seksual sebesar 41 korban (87%), yang terkecil adalah kekerasan fisik, kekerasan psikis dan perdagangan orang (human trafficking) sebesar 1 korban (2%).
  
Dampak Kekerasan anak dan HIV/AIDS
Kasus HIV dan AIDS yang dilaporkan oleh Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Propinsi Jawa Timur sampai dengan Bulan Juni tahun 2015, secara kumulatif di Jawa Timur telah ditemukan kasus HIV/AIDS sebanyak 13.925 kasus. Berdasarkan faktor risiko, kasus tertinggi berasal dari perilaku heteroseks sebesar 79,33%, kemudian IDU sebesar 12,17%, homoseks sebanyak 3,76%, perinatal sebesar 3,53%, dan Biseks sebesar 0,86% serta lain-lain sebesar 0,34% (Komisi Penanggulangan AIDS Propinsi Jawa Timur, 2015). Kondisi ini juga tidak jauh berbeda dengan di Kabupaten atau Kota di Jawa Timur. Artinya bahwa perilaku berisiko seperti hubungan seks yang tidak aman baik secara heteroseks maupun homoseks serta penyalahgunaan narkoba (IDU) memberikan kontribusi yang cukup besar terhadapa munculnya kasus HIV dan AIDS di masyarakat.
Penyebab atau alasan seseorang menjadi homoseks masih menjadi perdebatan, apakah disebabkan oleh kelainan secara biologis dimana didalamnya terdapat kelainan secara hormonal dan kromosom atau disebabkan oleh lingkungan seperti trauma masa kecil, atau sering diperlakukan sebagai seorang perempuan, pernah mengalami pelecehan seksual, menyaksikan berbagai kejadian seksual dan lain sebagainya (Kartono, 1989). Beberapa penelitian menyebutkan bahwa penyebab seseorang memiliki orientasi seksual yang “menyimpang” atau tidak normal seperti homoseksual (lesbian, Gay, Biseks dan transgender atau waria) adalah pola asuh orang tua yang keras (koersif). Akibatnya pola mendidik anak sangat keras, terutama ayah yang sangat temperamental dan kerap melakukan keserasan fisik dan psikologis pada ananknya. Hubungan buruk dengan orang tua merupakan hal serius karena mengurangi perasaan aman anak. Anak yang mengalami kekurangan hubungan dengan orang tua akan mengalami trauma emosional yang hebat (Hurlock, 2004). Akibatnya anak akan kehilangan figur ayah yang menjadi pelindung dan panutan di dalam keluarga. Sehingga dia kan mencari figur orang tua di luar rumah. Hal ini yang menimbulkan kerawanan dari anak-anak dan remaja mengalami kekerasan di luar rumah.
 Seseorang ketika menjadi homoseks lebih karena identifikasi dan asimilasi peran seks yang tak seharusnya didapat pada masa anak-anak (Siahaan, 2009). Yang termasuk dalam kategori ini lebih disebabkan karena pola asuh orang tua dalam hal ini adalah ayah yang keras dan temperamental. Dalam perspektif belajar, anak belajar bertingkah laku agresif melalui imitasi atau model terutama dari orang tuanya, guru dan anak-anak lainnya. Kekerasan biasanya bersifat turun temurun, sebab anak-anak akan belajar tentang bagaimana akan berhadapan dengan lingkungan dari orang tuanya (Margaretha dkk, 2013). Pada fase identifikasi saat anak berusia 6-8 tahun inilah peran pola asuh orangtua sangat menentukan. Keadaan dimana seseorang mengalami stess bahkan depresi karena kehilangan figure ayah maka menyebabkan secara mental seorang anak mengalami gangguan. Anak laki-laki harus mendapat perhatian cukup dari figur ayah dan anak perempuan dari figur ibu. Pada saat tidak terjadi keseimbangan peran ayah dan ibu dalam hubungannya dengan anak, si anak akan mengambil alih identitas psikoseksual yang tidak tepat. Misalnya anak laki-laki yang tidak mendapat peran figur ayah yang cukup, ayah terlalu keras terhadap anak, otomatis lebih dekat dengan sosok ibu. Apabila diteruskan, anak lelaki itu akan mengambil alih karakteristik perempuan, termasuk orientasi seksualnya. Teori lain menyebutkan bahwa selama fase odipal conflict ada ketakutan atau dendam kepada figur ayah (castration anxiaty) dikatakan bisa mengubah anak laki-laki untuk menjauhi ibunya sebagai obyek seksual dan pada akhirnya pada semua perempuan (Pambudy dan Fitrianto, 2009).
Penelitian lain oleh Hidayangsih dkk (2009) menyebutkan terdapat korelasi yang signifikan antara KDRT (kekerasan dalam Rumah Tangga) dengan perillaku berisiko. Analisis korelasional menemukan hubungan antara trauma masa kanak-remaja dengan tingkat agresivitas masa dewasa adalah signifikan dan positif (Margaretha dkk, 2013). Kondisi dimana dalam pola asuh orang tua, memungkinkan adanya gangguan relasi antara anak dan orang tua, yang sifatnya tidak harmonis, kontroversi, kejam, penuh kemunafikan, tidak adanya relasi yang baik antara ayah dengan anak laki-laki, konstelasi keluarga yang patologis, semua menjadi fasilitas atau predisposisi untuk perkembangan penyimpangan-penyimpangan seksual (Kartono, 1989). Penyimpangan yang dimaksud pada para korban kekerasan seksual adalah adanya orientasi seksual menyimpang pada saat dewasa seperti homoseks yang selalu diidentikan dengan gaya hidup seksual (sexual lifestyle) yang melekat dalam dirinya yang dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan budaya yang ada disekitarnya serta berdampak pada kesehatannya, karena tingginya risiko penularan terhadap Infeksi Menular Seksual (IMS) termasuk didalamnya HIV dan AIDS.
Sisca dan Moningka (2009) mengatakan bahwa kekerasan seksual yang terjadi pada masa kanak-kanak merupakan suatu peristiwa krusial karena membawa dampak negatif pada kehidupan korban di masa dewasanya. kekerasan seksual yang terjadi tidak sesederhana dampak psikologisnya. Korban akan diliputi perasaan dendam, marah, penuh kebencian yang tadinya ditujukan kepada orang yang melecehkannya dan kemudian menyebar kepada obyek-obyek atau orang-orang lain (Fuadi, 2011). Dalam studi empiris telah mengindikasikan bahwa adanya reaksi yang permanen pada populasi korban kekerasan seksual pada anak yang meliputi : ketakutan, gelisah, depresi, marah dan penuh kebencian, agresi, dan perilaku seksual yang menyimpang (Brown & Finkelhor, 1986).
Solusi Efektif Mencegah Kekerasan Pada Anak
            Dari paparan kondisi yang disebutkan di atas, diperlukan upaya pencegahan sejak dini pada anak dalam melindungi mereka dari sex predators. Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam mencegah terjadinya kekerasan seksual pada anak adalah dengan meningkatkan perilaku (pengetahuan, sikap dan tindakan) anak-anak tentang kesehatan reproduksi, sehingga mereka mampu untuk menolak terhadap kejadian kekerasan seksual yang dialaminya. Pendidikan kesehatan reproduksi pada anak-anak sekolah sangat efektif untuk memberikan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi sehingga manfaat diberikannya pendidikan tersebut bisa tercapai. Usia anak didik yang biasa masuk bangku sekolah dasar baik negeri atau swasta yaitu 7-13 tahun. Anak dalam golongan ini masih dalam taraf pertumbuhan dan perkembangannya, hingga masih mudah dibimbing dan dibina untuk menanamkan kebiasaan hidup sehat sehari-hari (Natalina, 2009). Minat pada seks lebih besar setelah anak masuk sekolah karena hubungan dengan teman sebaya bertambah kerap dan erat, berbeda dengan waktu pergaulan mereka terbatas pada kelompok bermain di lingkungan sekitar rumah. Sepanjang masa sekolah, minat pada seks meningkat, dan biasanya mencapai puncaknya selama periode perubahan pubertas (Hurlock, 1978) . Untuk membekali agar siswa dapat menyadari hak-haknya secara baik, sudah barang tentu kepada mereka perlu diberikan pembekalan tentang Kekerasan Terhadap Anak (child abuse), pengertian dan batasan child abuse, dampak child abuse dan sebagainya, yang intinya di masa yang akan datang program penanganan child abuse di lingkungan sekolah ini dapat ditangani sendiri oleh anak secara mandiri  (Suyanto et al, 2000).
Oleh sebab itu perlu adanya peran sekolah dalam meningkatkan pengetahuan siswa sekolah dasar tentang perilaku sederhana dalam menjaga organ reproduksi, yang meliputi: menjaga kebersihan alat vital dengan membersihkan dengan air setelah buang air, mengganti celana dalam minimal dua kali sehari, serta menggunakan toilet pada saat buang air. Tingginya kasus kekerasan seksual  pada anak (child abuse) yang dilakukan oleh orang-orang terdekat anak termasuk keluarga menunjukkan pentingnya pemahaman akan pendidikan seks pada usia dini. Berkenaan dengan domain hubungan yang menghambat pengungkapan seringkali dikaitkan dengan jurang pemisah. Selama ini membicarakan dan mendiskusikan masalah seksualitas sangat sulit dilakukan karena menganggap sesuatu yang rahasia, ditambah lagi stuktur sosial yang tidak mendukung (Suryani, 2012). Masalah pendidikan seks di kalangan masyarakat awam dianggap hal yang tabu dan belum waktunya diberikan pada anak-anak. Sehingga orang tua menyerahkan masalah pendidikan termasuk pendidikan seks pada sekolah.
Upaya dalam rangka meminimalkan dampak negatif yang lebih menghawatirkan ketika anak mengalami pelecahan atau kekerasan seksual adalah menanamkan softskill keberanian dan percaya diri untuk menangkal pelecehan seksual. Adapun upaya awal yang dapat dilakukan oleh anak-anak ketika mengalami pelecahan dan kekerasan seksual (misal : diraba alat vitalnya oleh orang asing) adalah dengan cara melawan, berteriak, kemudian lari menuju pada orang tua atau orang lain yang dikenal. Hal ini seperti pada implementasi pelajaran Personal Social Health Education (PSHE) di Inggris Raya di tingkat Key Stage 2 (ekivalen dengan kelas 4-6 SD). Pada tahap ini, anak didik diajarkan pengetahuan, keterampilan dan pemahaman mengenai: 1) kepercayaan diri dan tanggung jawab, memanfaatkan bakat dan kemampuan mereka, 2) menghadapi tantangan perilaku menyimpang dari luar dan mampu membuat pilihan yang sehat dan bertanggung jawab. Anak didik belajar bagaimana mereka tumbuh dan berkembang, mengalami perubahan fisik maupun kejiwaan baik sebagai individu maupun anggota masyarakat. Mereka menjadi lebih matang, mandiri dan percaya diri. Semua perubahan tersebut yang terjadi pada masa pubertas, juga akan mengiringi transisi mereka dari SD ke Sekolah Menengah. Perubahan ini tentunya membutuhkan dukungan dan motivasi dari sekolah. Seyogyanya mereka mendapatkan bekal pengetahuan, pemahaman dan keterampilan tentang kesehatan reproduksi remaja, lingkungan yang sehat, tanggung jawab perilaku sehat dan menjadi agen promosi kesehatan bagi kelompoknya (Pertiwi, 2012).
Bagaimana dengan peran pemerintah setempat ? Setidaknya kita bisa belajar upaya yang pernah dilakukan oleh Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Beencana (BP2KB) Kabupaten Jember pada tahun 2013 dengan memberikan pelatihan singkat pada para guru PAUD, TK dan serta SD tentang bagaimanakah mengajarkan ke anak didik tentang pengenalan tubuh dan upaya menjaganya dari tindak pelecehan seksual. Selain itu, kita bisa belajar dari Bu Risma Walikota Surabaya yang turut serta dalam program TANGKIS yang dilakukan oleh Yayasan Peduli Anak bekerjasasama dengan Jawa Pos untuk mensosialisasikan kemandirian anak-anak usia playgroup dan TK untuk berani menolak dan berteriak apabila ada orang asing yang menyakiti mereka.
Selain pihak sekolah dan pemerintah, keluarga juga bisa mengambil peran dengan melakukan upaya preventif dalam lingkup kehidupan keluarga dengan memberikan pola asuh dan kasih sayang yang tepat dalam perkembangan dari masa anak-anak, remaja dan sapai pada masa dewasanya. Selain itu, menciptakan komunikasi yang terbuka antara anak dan orang tua menjadi hal yang mutlak untuk bisa memahami permasalahan anak kita. Agar mereka tidak mencari tempat curhat yang tidak tepat seperti dari internet atau teman sebaya mereka yang belum tentu informasi yang mereka dapatkan benar dan tepat. Kita bisa mengutip ungkapan dari seorang Psikolog terkenal di Jakarta yang mengungkapkan bahwa kegagalan sebagai orang tua adalah ketika dirinya tidak menjadi tempat curhat anaknya. Semoga hal ini bisa menjadi renungan kita semua, sebagai orang yang sangat peduli dengan kesejahteraan anak-anak kita.

(OPINI ini dimuat pada Jawa Pos Radar Jember dalam rangka refleksi peringatan World AIDS Day 1 Desember 2015)




Jumat, 13 Mei 2016

MEMPERINGATI WORLD NO TOBACCO DAY 1 MEI : KETIKA MEROKOK TIDAK MENJADI HAK ASASI BAGI SETIAP ORANG



Pesan dibalik Peringatan World No tobacco Day.
Sebagian besar dari kita mungkin tidak tahu bahwa setiap tanggal 30 Mei diperingati sebagai Hari Anti Tembakau Sedunia. Tidak berlebihan jika momen terkait anti tembakau sebagai hari yang diperingati oleh seluruh manusia di belahan bumi ini. Mengingat ada kandungan berbahaya bagi kesehatan dari produk tembakau yang sudah menjadi suatu “budaya” di masyarakat kita yaitu rokok. Mengapa rokok harus menjadi tema penting dalam setiap World  No Tobacco Day. Karena sampainsaat ini tidak bisa dipungkiri bahwa isu pengendalian tembakau (tobacco control issue) masih menjadi isu pro dan kontra baik pada oleh pihak swasta (pengusaha), pemerintah, maupun masyarakat.
Negara memiliki kewajiban untuk melindungi dan memenuhi hak atas kesehatan. Kesehatan adalah hak dasar. Setiap orang dapat menikmati hak-hak lain bilamana mereka sehat. Negara memiliki kewajiban menjamin setiap setiap orang untuk menikmati standar kesehatan tertinggi yang dapat dijangkau dan kondusif bagi kehidupan manusia yang berderajat. Kesehatan adalah hak asasi manuasia yang fundamental dan tak ternilai, demi terlaksananya hak asasi yang lainnya.
Upaya negara membebaskan warga dari paparan asap rokok adalah bagian dari perwujudan kewajiban negara dalam hak atas kesehatan. Upaya ini untuk melindungi masyarakat dari bahaya produk tembakau yang secara alamiah telah dibuktikan. Dalam asap rokok terdapat campuran kompleks sekitar 4000 senyawa kimia, termasuk diantaranya 70 bahan yang diketahui atau memiliki kemungkinan bersifat karsinogen bagi manusia. Bahkan Surgeon General Report (2010) mengungkapkan bahwa paparan asap rokok mengandung 7000 zat beracun.
Hak atas kesehatan dan lingkungan hidup yang sehat merupakan hak asasi manusia yang sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara RI 1945 serta Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 28 H UUD 1945 menjamin setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Hal tersebut dijamin pula oleh Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Pasal 9 ayat (3) UU 39/1999 menjamin setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Jadi sudah seharusnya dalam hal ini pemerintah mengatur dan mengendalikan produk-produk tembakau terutama rokok yang asapnya tidak hanya dihirup oleh perokok tetapi juga dihirup oleh orang lain disekitarnya. Hal ini dilakukan sebagai bentuk perlindungan terhadap hak hidup warga masyarakatnya. Jika Pemerintah belum membuat kebijakan yang jelas dan tegas dalam penbendalian produk-produk tembakau, bisa diartikan bahwa pemerintah telah mengabaikan dan melanggar hak hidup warga negaranya lebih jauh lagi pemerintah telah melanggar institusi (Aliansi Pengendalian Tembakau Indonesia, 2013)..
Konsumsi rokok tidak hanya membahayakan perlindungan terhadap hak asasi atas kesehatan dan hak atas lingkungan yang sehat, lebih jauh, ia juga berbahaya dan mengancam hak atas hidup setiap warga masyarakat. Hal ini tidak terbatas pada hak hidup perokok tetapi yang lebih utama adalah hak hidup orang yang tidak merokok dari bahaya asap rokok, terutama para kaum perempuan dan anak-anak. Ingat dalam asap rokok terdapat campuran kompleks sekitar 4000 senyawa kimia, termasuk diantaranya 70 bahan yang diketahui atau memiliki kemungkinan bersifat karsinogen bagi manusia. Dimana dampak kesehatan dari kecanduan tembakau yang didalamnya termasuk rokok meliputi : kanker paru, mulut, pagkreas dan berbagai jenis kanker lainnya, penyakit jantung dan serangan jantung, stroke dan masalah vaskular lainnya, penyakit dan maslah pernafasan seperti penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dan sulit bernafas, serta komplikasi reproduksi seperti keguguran dan kemandulan.

Aturan pemerintah Terkait Pengendalian Produk Tembakau
            Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 115 ayat 1 menyebutkan bahwa Kawasan Tanpa Rokok antara lain :
1.      Fasilitas pelayanan kesehatan;
2.      Tempat proses belajar mengajar;
3.      Tempat anak bermain;
4.      Angkutan umum;
5.      Tepat kerja; dan
6.      Tempat umum
7.      Tempat lain  yang ditetapkan.
Sedangkan dalam pasal 115 ayat 2 menyebutkan pemerintah daerah wajib menetapkan kawasan tanpa rokok di wilayahnya. Kemudian turunan dari Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan ini adalah Peraturan Pemerintah (PP) nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Zat Adiktif berupa produk Tembakau untuk kesehatan yng didalmnya mengatur mengenai kemasan produk tembakau, larangan sposor produk tembakau, laranagn menjual rorok yerhadap anak-anak dan i bu hamil. Dengan adanya payung hukum yang kuat ini. Seharusnya Pemerintah daerah baik propinsi maupun  pemerintah kabupaten/kota segera menindak lanjuti regulasi tersebut dengan membuat perda  (peraturan daerah) dalam bentuk peraturan gubernur atau peraturan bupati/Walikota tentang Kawasan Tanpa Rokok.
Kabupaten Jember sebagai salah satu kabupaten penghasil tembakau di Jawa Timur bukan berarti tidak bisa berbuat apa-apa terkait hal ini. Karena peraturan Kawasan Tanpa Rokok tidak melarang untuk merokok tetapi mengatur mereka agar tidak merokok di tempat umum yang notabene banyak di bsekitar mereka orang yang tidak merokok, permpuan dan anak-anak yang berhak mengirup udara bersih tanpa asap rokok. Setidaknya kita bisa belajar dari Kabupaten Gunung Kidul  misalnya. Walaupun termasuk daerah yang PADnya kecil namun Bupatinya sudah memiliki komitmen yang besar terhadap upaya melindungi rakyatnya dari bahaya asap rokok. Yaitu dengan Peraturan Bupati yang melarang reklame rokok di wilayah Kabupaten Gunung Kidul. Bahkan Bupati langsung turun untuk mengganti reklame rokok dengan reklame berisi ajakan untuk memiliki perilaku hidup sehat. Lain halnya dengan Walikota Padang Panjang, Walikota Bogor dan Walikota Pekalongan yang telah memiliki Perda untuk melarang reklame rokok, mengungkapkan bahwa ternyata pelarangan reklame rokok tersebut tidak berdampak pada PAD (Pendapatan Asli Daerah) . karena masukan dari rekalme rokok dengan mudah diganti oleh perusahaan lain dari perusahaan pulsa, otomotif dan telpun seluler, dsb.
Di Jawa Timur sendiri ada beberapa perda di tingkat Kabupaten/Kota yang mengatur tentang kawasan tanpa rokok, yaitu Kota surabaya, Kabupaten Tulungagung dan Kabupaten Sidoarjo dalam bentuk perda, dan Kota Probolinggo dalam bentuk Perwali (Peraturan walikota). Sampai bulan Mein tahun 2013 telah terdapat 85 kabupaten/kota yang sudah memiliki kebijakan kawasan tanpa rokok dalam berbagai bentuk Peraturan Daerah, Peraturan Gubernur, peraturan Bupati, Peraturan walikota, dan bentuk peraturan lainnya (Kementrian Kesehatan RI, 2013).
Apakah Kita Siap Dengan Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok
            Adanya regulasi pengendalian produk tembakau termasuk rokok di level pemerintahan pusat yaitu berdasarkan Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan ini adalah Peraturan Pemerintah (PP) nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Zat Adiktif berupa produk Tembakau untuk kesehatan yang didalamnya mengatur mengenai kemasan produk tembakau, larangan sposor produk tembakau, larangan menjual rorok terhadap anak-anak dan ibu hamil, maka menjadi pedoman utama bagi daerah untuk menindak lanjuti aturan tersebut dalam bentuk peraturan daerah baik di tingkat propinsi maupun kabupaten/kota. Selain itu, kebijakan ini sudah didukung oleh masyarakat. Hal ini dapat dibuktikan dengan hasil Survey Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang dilakukan di 8 Kota besar di Indonesia yaitu : jakarta, surabaya, Bandung, Makasar, Medan, semarang, Palembang dan Banjarmasin menunjukkan bahwa 92% responden setuju bahwa asap rokok orang lain berbahaya bagi kesehatan, 72% responden mersa terganggu dengan sapa rokok dan 88% setuju dengan kebijakan kawasan tanpa rokok (Abadi, 2011).
            Survey yang lain dilakukan oleh MTCC (Muhammadiyah Tobacco Control  Center Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, melibatkan 1.018 responden dari masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) berumur lebih dari 15 tahun, menunjukkan hasil bahwa  88% responden mendukung kebijakan Kawasan Tanpa Rokok, 91% responden mendukung larangan merokok di perkantoran dan tempat kerja tertutup. 75% responden mendukung larangan merokok di restoran, 95% responden mendukung larangan merokok di rumah sakit dan klinik. 83% responden mendukung larangan merokok di tempat umum seperti mall, tempat perbelanjaan dan terminal. 90% responden mendukung larangan merokok di institusi pendidikan seperti di sekolah, kampus dan universitas. 94% responden mendukung larangan merokok di tempat ibadah. 845 responden mendukung larangan merokok di angkutan umum. Yang menarik juga dari survey ini adalah 85% responden menyatakan bahwa lebih penting hak untuk mendapatkan  udara bersih daripada hak perokok untuk merokok di dalam ruangan. Bahkan 68% perokok mendukung adanya peraturan daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di ruang tertutup (MTCC UMY, 2011).
Kabupaten Jember terkenal sebagai salah satu daerah penghasil utama tembakau di Indonesia. Kabupaten Jember menduduki urutan kedua setelah Kabupaten Pamekasan, dengan rincian luas lahan sebesar 13.498 hektar, dengan jumlah petani sebesar 28.423 orang dan jumalah produksi sebesar 7.235 ton (Radjab, 2013). Pada tahun 2011, terdapat 24.616 petani tembakau tersebar di 24 kecamatan dari 31 kecamatan di Kabupaten Jember. Sedangkan luas lahan tembakau mencapai 10.009 hektar dan produksi tembakau sebesar 6.130 ton (Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Jember, 2012).
            Berkaitan faktor sejarah, pemerintah Kabupaten Jember menjadikan daun tembakau sebagai salah satu gambar lambang daerah. Hal inilah yang selama ini dianggap sebagai penyebab tidak adanya upaya pengendalian dampak tembakau di Kabupaten Jember. Namun hasil penelitian terbaru menyebutkan bahwa kualitas hidup petani tembakau di Jember sangat kurang karena berkaitan dengan aspek lingkungan fisik (iklim) dan sosial (tata niaga yang dinilai merugikan petani tembakau) serta aspek psikologis ditengah pro dan kontra kebijakan pengendalian tembakau (Chifdillah, 2013). Upaya pemiskinan yang terjadi diantaranya adalah harga daun tembakau ditentukan sepihak oleh gudang atau pabrik rokok (Jayadi & Abriansyah, 2012). Penelitian menurut Rokhmah (2013) menyebutkan bahwa sebagian besar petani tembakau di Kabupaten Jember berpendidikan rendah (tidak bersekolah), sudah menjadi petani tembakau lebih dari 10 tahun serta memiliki penghasilan per bulan dibawah UMR. Dari aspek lingkungan, terdapat realitas bahwa cuaca yang tidak menentu memang menjadi persoalan tersendiri bagi petani tembakau (Chamim et al, 2011). Sementara itu, akibat dari dampak penurunan pangsa pasar kretek, PT HM Sampoerna menutup dua pabrik rokok sigaret kretek tangan (SKT) di Kabupaten Lumajang dan Jember, Jawa Timur, sehingga terdapat PHK karyawan pabrik rokok kretek sebanyak 1 juta orang sejak tahun 2008 (Jawa pos, 2014).
Dari sisi Kesehatan, saat ini Kabupaten Jember juga memiliki angka penderita PPOK yang tinggi. PPOK merupakan penyakit paru kronik yang ditandai dengan hambatan aliran udara disaluran napas yang tidak sepenuhnya refersibel. Penyakit PPOK dikarakteristikkan dengan adanya inflamasi bronkus di sepanjang saluran pernafasan, parenkim paru, dan sistem pembuluh darah pulmonar. Terdapat peningkatan jumlah makrofag, sel limfosit T ( terutama CD8+ ), dan neutrofil di berbagai bagian paru. Sel inflamasi yang teraktifkan ini akan melepaskan berbagai mediator inflamasi yang dapat merusak struktur paru atau memperlama inflamasi neutrofilik. Inflamasi di paru-paru disebabkan oleh paparan partikel dan gas berbahaya yang terhirup. Asap rokok dapat memicu inflamasi dan secara langsung merusak paru-paru (Rahmatika, 2009).
Faktor resiko PPOK adalah riwayat merokok, riwayat terpajan polusi udara di lingkungan kerja, hiperaktiviti bronkus, riwayat infeksi saluran napas berulang, dan defisiensi antitripsin alfa-1. Rokok adalah faktor penyebab terpenting dalam menyebabkan PPOK. Adapun riwayat merokok dalam peningkatan penyakit PPOK, meliputi kebiasaan merokok yang masih tinggi (laki-laki di atas 15 tahun 60-70 %), pertambahan penduduk, meningkatnya usia rata-rata penduduk dari 54 tahun pada tahun 1960-an menjadi 63 tahun pada tahun 1990-an, industrialisasi, dan polusi udara terutama di kota besar, di lokasi industri, dan di pertambangan (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), 2003). Data yang diperoleh dari RS Paru Kabupaten Jember tercatat jumlah kasus PPOK pada tahun 2013 yang dirawat inap sebayak 313 kasus. Jumlah ini meningkat drastis dari tahun sebelumnya, yakni sebesar 221 kasus.
Berdasarkan penjelasan kondisi di atas, serta tingginya jumlah kasus PPOK dan aktivitas merokok sebagai faktor resiko PPOK maka perlu dilakukan upaya dari pemerintah Kabupaten Jember untuk mengeluarkan kebijakan terkait pengendalian tembakau, yaitu dengan mengeluarkan peraturan bupati tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) minimal di tempat umum seperti : rumah sakit, kantor pemerintahan, sekolah dan tempat ibadah. Dengan adanya kebijakan KTR di Kabupeten Jember diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya rokok serta dapat menciptakan udara bersih yang menjadi hak setiap orang, terutama bagi yang tidak merokok, perempuan dan anak-anak. Selain itu, KTR juga menjadi forum pembelajaran bagi masyarakat bahwa setiap warga masyarakat memiliki hak konstitusional untuk mendapatkan lingkungan udara yang bersih, sehingga para perokok tidak sembarangan merokok di berbagai fasilitas umum. *

·         Penulis adalah Dosen di Bagian Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku FKM UNEJ, Pengurus Perhimpunan Sarjana Kesehatan Masyarakat Indonesi (PERSAKMI).



SIARAN DI RRI TENTANG FENOMENA LGBT


Talkshow di RRI Pro 1 Jember tentang fenomena LGBT