Pesan
dibalik Peringatan World No tobacco Day.
Sebagian
besar dari kita mungkin tidak tahu bahwa setiap tanggal 30 Mei diperingati
sebagai Hari Anti Tembakau Sedunia. Tidak berlebihan jika momen terkait anti
tembakau sebagai hari yang diperingati oleh seluruh manusia di belahan bumi
ini. Mengingat ada kandungan berbahaya bagi kesehatan dari produk tembakau yang
sudah menjadi suatu “budaya” di masyarakat kita yaitu rokok. Mengapa rokok
harus menjadi tema penting dalam setiap World No Tobacco Day. Karena sampainsaat ini
tidak bisa dipungkiri bahwa isu pengendalian tembakau (tobacco control issue) masih menjadi isu pro dan kontra baik pada oleh
pihak swasta (pengusaha), pemerintah, maupun masyarakat.
Negara
memiliki kewajiban untuk melindungi dan memenuhi hak atas kesehatan. Kesehatan
adalah hak dasar. Setiap orang dapat menikmati hak-hak lain bilamana mereka
sehat. Negara memiliki kewajiban menjamin setiap setiap orang untuk menikmati
standar kesehatan tertinggi yang dapat dijangkau dan kondusif bagi kehidupan
manusia yang berderajat. Kesehatan adalah hak asasi manuasia yang fundamental
dan tak ternilai, demi terlaksananya hak asasi yang lainnya.
Upaya
negara membebaskan warga dari paparan asap rokok adalah bagian dari perwujudan
kewajiban negara dalam hak atas kesehatan. Upaya ini untuk melindungi
masyarakat dari bahaya produk tembakau yang secara alamiah telah dibuktikan. Dalam
asap rokok terdapat campuran kompleks sekitar 4000 senyawa kimia, termasuk
diantaranya 70 bahan yang diketahui atau memiliki kemungkinan bersifat
karsinogen bagi manusia. Bahkan Surgeon General Report (2010) mengungkapkan
bahwa paparan asap rokok mengandung 7000 zat beracun.
Hak
atas kesehatan dan lingkungan hidup yang sehat merupakan hak asasi manusia yang
sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara RI 1945 serta Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 28 H UUD 1945 menjamin
setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan
mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan. Hal tersebut dijamin pula oleh Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Pasal 9 ayat (3) UU 39/1999 menjamin setiap
orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Jadi sudah seharusnya
dalam hal ini pemerintah mengatur dan mengendalikan produk-produk tembakau
terutama rokok yang asapnya tidak hanya dihirup oleh perokok tetapi juga
dihirup oleh orang lain disekitarnya. Hal ini dilakukan sebagai bentuk
perlindungan terhadap hak hidup warga masyarakatnya. Jika Pemerintah belum
membuat kebijakan yang jelas dan tegas dalam penbendalian produk-produk tembakau,
bisa diartikan bahwa pemerintah telah mengabaikan dan melanggar hak hidup warga
negaranya lebih jauh lagi pemerintah telah melanggar institusi (Aliansi
Pengendalian Tembakau Indonesia, 2013)..
Konsumsi
rokok tidak hanya membahayakan perlindungan terhadap hak asasi atas kesehatan
dan hak atas lingkungan yang sehat, lebih jauh, ia juga berbahaya dan mengancam
hak atas hidup setiap warga masyarakat. Hal ini tidak terbatas pada hak hidup
perokok tetapi yang lebih utama adalah hak hidup orang yang tidak merokok dari
bahaya asap rokok, terutama para kaum perempuan dan anak-anak. Ingat dalam asap
rokok terdapat campuran kompleks sekitar 4000 senyawa kimia, termasuk
diantaranya 70 bahan yang diketahui atau memiliki kemungkinan bersifat
karsinogen bagi manusia. Dimana dampak kesehatan dari kecanduan tembakau yang
didalamnya termasuk rokok meliputi : kanker paru, mulut, pagkreas dan berbagai
jenis kanker lainnya, penyakit jantung dan serangan jantung, stroke dan masalah
vaskular lainnya, penyakit dan maslah pernafasan seperti penyakit paru
obstruktif kronis (PPOK) dan sulit bernafas, serta komplikasi reproduksi
seperti keguguran dan kemandulan.
Aturan
pemerintah Terkait Pengendalian Produk Tembakau
Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan pasal 115 ayat 1 menyebutkan bahwa Kawasan Tanpa Rokok
antara lain :
1. Fasilitas
pelayanan kesehatan;
2. Tempat
proses belajar mengajar;
3. Tempat
anak bermain;
4. Angkutan
umum;
5. Tepat
kerja; dan
6. Tempat
umum
7. Tempat
lain yang ditetapkan.
Sedangkan
dalam pasal 115 ayat 2 menyebutkan pemerintah daerah wajib menetapkan kawasan
tanpa rokok di wilayahnya. Kemudian turunan dari Undang-Undang No 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan ini adalah Peraturan Pemerintah (PP) nomor 109 Tahun 2012
tentang Pengamanan Zat Adiktif berupa produk Tembakau untuk kesehatan yng
didalmnya mengatur mengenai kemasan produk tembakau, larangan sposor produk
tembakau, laranagn menjual rorok yerhadap anak-anak dan i bu hamil. Dengan
adanya payung hukum yang kuat ini. Seharusnya Pemerintah daerah baik propinsi
maupun pemerintah kabupaten/kota segera
menindak lanjuti regulasi tersebut dengan membuat perda (peraturan daerah) dalam bentuk peraturan
gubernur atau peraturan bupati/Walikota tentang Kawasan Tanpa Rokok.
Kabupaten
Jember sebagai salah satu kabupaten penghasil tembakau di Jawa Timur bukan
berarti tidak bisa berbuat apa-apa terkait hal ini. Karena peraturan Kawasan
Tanpa Rokok tidak melarang untuk merokok tetapi mengatur mereka agar tidak
merokok di tempat umum yang notabene banyak di bsekitar mereka orang yang tidak
merokok, permpuan dan anak-anak yang berhak mengirup udara bersih tanpa asap
rokok. Setidaknya kita bisa belajar dari Kabupaten Gunung Kidul misalnya. Walaupun termasuk daerah yang
PADnya kecil namun Bupatinya sudah memiliki komitmen yang besar terhadap upaya
melindungi rakyatnya dari bahaya asap rokok. Yaitu dengan Peraturan Bupati yang
melarang reklame rokok di wilayah Kabupaten Gunung Kidul. Bahkan Bupati
langsung turun untuk mengganti reklame rokok dengan reklame berisi ajakan untuk
memiliki perilaku hidup sehat. Lain halnya dengan Walikota Padang Panjang,
Walikota Bogor dan Walikota Pekalongan yang telah memiliki Perda untuk melarang
reklame rokok, mengungkapkan bahwa ternyata pelarangan reklame rokok tersebut
tidak berdampak pada PAD (Pendapatan Asli Daerah) . karena masukan dari rekalme
rokok dengan mudah diganti oleh perusahaan lain dari perusahaan pulsa, otomotif
dan telpun seluler, dsb.
Di
Jawa Timur sendiri ada beberapa perda di tingkat Kabupaten/Kota yang mengatur
tentang kawasan tanpa rokok, yaitu Kota surabaya, Kabupaten Tulungagung dan
Kabupaten Sidoarjo dalam bentuk perda, dan Kota Probolinggo dalam bentuk
Perwali (Peraturan walikota). Sampai bulan Mein tahun 2013 telah terdapat 85 kabupaten/kota
yang sudah memiliki kebijakan kawasan tanpa rokok dalam berbagai bentuk
Peraturan Daerah, Peraturan Gubernur, peraturan Bupati, Peraturan walikota, dan
bentuk peraturan lainnya (Kementrian Kesehatan RI, 2013).
Apakah
Kita Siap Dengan Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok
Adanya regulasi pengendalian produk
tembakau termasuk rokok di level pemerintahan pusat yaitu berdasarkan
Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan ini adalah Peraturan
Pemerintah (PP) nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Zat Adiktif berupa
produk Tembakau untuk kesehatan yang didalamnya mengatur mengenai kemasan
produk tembakau, larangan sposor produk tembakau, larangan menjual rorok
terhadap anak-anak dan ibu hamil, maka menjadi pedoman utama bagi daerah untuk
menindak lanjuti aturan tersebut dalam bentuk peraturan daerah baik di tingkat
propinsi maupun kabupaten/kota. Selain itu, kebijakan ini sudah didukung oleh
masyarakat. Hal ini dapat dibuktikan dengan hasil Survey Lembaga Konsumen
Indonesia (YLKI) yang dilakukan di 8 Kota besar di Indonesia yaitu : jakarta,
surabaya, Bandung, Makasar, Medan, semarang, Palembang dan Banjarmasin
menunjukkan bahwa 92% responden setuju bahwa asap rokok orang lain berbahaya
bagi kesehatan, 72% responden mersa terganggu dengan sapa rokok dan 88% setuju
dengan kebijakan kawasan tanpa rokok (Abadi, 2011).
Survey yang lain dilakukan oleh MTCC
(Muhammadiyah Tobacco Control Center
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, melibatkan 1.018 responden dari masyarakat
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) berumur lebih dari 15 tahun, menunjukkan hasil
bahwa 88% responden mendukung kebijakan
Kawasan Tanpa Rokok, 91% responden mendukung larangan merokok di perkantoran
dan tempat kerja tertutup. 75% responden mendukung larangan merokok di
restoran, 95% responden mendukung larangan merokok di rumah sakit dan klinik.
83% responden mendukung larangan merokok di tempat umum seperti mall, tempat
perbelanjaan dan terminal. 90% responden mendukung larangan merokok di
institusi pendidikan seperti di sekolah, kampus dan universitas. 94% responden
mendukung larangan merokok di tempat ibadah. 845 responden mendukung larangan
merokok di angkutan umum. Yang menarik juga dari survey ini adalah 85%
responden menyatakan bahwa lebih penting hak untuk mendapatkan udara bersih daripada hak perokok untuk
merokok di dalam ruangan. Bahkan 68% perokok mendukung adanya peraturan daerah
tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di ruang tertutup (MTCC UMY, 2011).
Kabupaten
Jember terkenal sebagai salah satu daerah penghasil utama tembakau di
Indonesia. Kabupaten Jember menduduki urutan kedua setelah Kabupaten Pamekasan,
dengan rincian luas lahan sebesar 13.498 hektar, dengan jumlah petani sebesar
28.423 orang dan jumalah produksi sebesar 7.235 ton (Radjab, 2013). Pada tahun
2011, terdapat 24.616 petani tembakau tersebar di 24 kecamatan dari 31
kecamatan di Kabupaten Jember. Sedangkan luas lahan tembakau mencapai 10.009
hektar dan produksi tembakau sebesar 6.130 ton (Dinas Perkebunan dan Kehutanan
Kabupaten Jember, 2012).
Berkaitan faktor sejarah, pemerintah
Kabupaten Jember menjadikan daun tembakau sebagai salah satu gambar lambang
daerah. Hal inilah yang selama ini dianggap sebagai penyebab tidak adanya upaya
pengendalian dampak tembakau di Kabupaten Jember. Namun hasil penelitian terbaru
menyebutkan bahwa kualitas
hidup petani tembakau di Jember sangat kurang karena berkaitan dengan aspek
lingkungan fisik (iklim) dan sosial (tata niaga yang dinilai merugikan petani
tembakau) serta aspek psikologis ditengah pro dan kontra kebijakan pengendalian
tembakau (Chifdillah, 2013). Upaya pemiskinan yang terjadi diantaranya adalah
harga daun tembakau ditentukan sepihak oleh gudang atau pabrik rokok (Jayadi
& Abriansyah, 2012). Penelitian menurut Rokhmah (2013) menyebutkan bahwa
sebagian besar petani tembakau di Kabupaten Jember berpendidikan rendah (tidak
bersekolah), sudah menjadi petani tembakau lebih dari 10 tahun serta memiliki
penghasilan per bulan dibawah UMR. Dari aspek lingkungan, terdapat realitas
bahwa cuaca yang tidak menentu memang menjadi persoalan tersendiri bagi petani
tembakau (Chamim et al, 2011). Sementara itu, akibat dari dampak penurunan
pangsa pasar kretek, PT HM Sampoerna menutup dua pabrik rokok sigaret kretek
tangan (SKT) di Kabupaten Lumajang dan Jember, Jawa Timur, sehingga terdapat
PHK karyawan pabrik rokok kretek sebanyak 1 juta orang sejak tahun 2008 (Jawa
pos, 2014).
Dari sisi Kesehatan, saat ini Kabupaten Jember juga
memiliki angka penderita PPOK yang tinggi. PPOK merupakan penyakit paru kronik
yang ditandai dengan hambatan aliran udara disaluran napas yang tidak
sepenuhnya refersibel. Penyakit PPOK dikarakteristikkan dengan adanya inflamasi bronkus di sepanjang
saluran pernafasan, parenkim paru, dan sistem pembuluh darah pulmonar. Terdapat
peningkatan jumlah makrofag, sel limfosit T ( terutama CD8+ ), dan neutrofil di
berbagai bagian paru. Sel inflamasi yang teraktifkan ini akan melepaskan
berbagai mediator inflamasi yang dapat merusak struktur paru atau memperlama
inflamasi neutrofilik. Inflamasi di paru-paru disebabkan oleh paparan partikel
dan gas berbahaya yang terhirup. Asap rokok dapat memicu inflamasi dan secara
langsung merusak paru-paru (Rahmatika,
2009).
Faktor
resiko PPOK adalah riwayat merokok, riwayat terpajan polusi udara di lingkungan
kerja, hiperaktiviti bronkus, riwayat infeksi saluran napas berulang, dan
defisiensi antitripsin alfa-1. Rokok adalah faktor penyebab terpenting dalam
menyebabkan PPOK. Adapun riwayat merokok dalam peningkatan penyakit
PPOK, meliputi kebiasaan merokok yang masih tinggi (laki-laki di atas 15 tahun
60-70 %), pertambahan penduduk, meningkatnya usia rata-rata penduduk dari 54
tahun pada tahun 1960-an menjadi 63 tahun pada tahun 1990-an, industrialisasi,
dan polusi udara terutama di kota besar, di lokasi industri, dan di
pertambangan (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI),
2003). Data
yang diperoleh dari RS Paru Kabupaten Jember tercatat jumlah kasus PPOK pada
tahun 2013 yang dirawat inap sebayak 313 kasus. Jumlah ini meningkat drastis
dari tahun sebelumnya, yakni sebesar 221 kasus.
Berdasarkan
penjelasan kondisi di atas, serta tingginya jumlah kasus PPOK dan aktivitas
merokok sebagai faktor resiko PPOK maka perlu dilakukan upaya dari pemerintah
Kabupaten Jember untuk mengeluarkan kebijakan terkait pengendalian tembakau,
yaitu dengan mengeluarkan peraturan bupati tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR)
minimal di tempat umum seperti : rumah sakit, kantor pemerintahan, sekolah dan
tempat ibadah. Dengan adanya kebijakan KTR di Kabupeten Jember diharapkan dapat
meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya rokok serta dapat menciptakan
udara bersih yang menjadi hak setiap orang, terutama bagi yang tidak merokok,
perempuan dan anak-anak. Selain itu, KTR juga menjadi forum pembelajaran bagi
masyarakat bahwa setiap warga masyarakat memiliki hak konstitusional untuk
mendapatkan lingkungan udara yang bersih, sehingga para perokok tidak sembarangan
merokok di berbagai fasilitas umum. *
·
Penulis adalah Dosen di Bagian Promosi
Kesehatan dan Ilmu Perilaku FKM UNEJ, Pengurus Perhimpunan Sarjana Kesehatan
Masyarakat Indonesi (PERSAKMI).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar