MEMPERINGATI HARI
HIV/AIDS SE DUNIA 1 DESEMBER 2015
Kekerasan Pada Anak dan HIV/AIDS ; Siapakah yang
bertanggung jawab ?
Oleh : Dewi Rokhmah*
*Dosen di
Bagian PKIP FKM Universitas Jember, Pengurus Perhimpunan Sarjana Kesehatan
Masyarakat Indonesia (PERSAKMI) dan sedang menyelesaikan Pendidikan
Program
Doktoral di FKM Universitas Airlangga Surabaya
Realitas Kekerasan pada Anak
Pada
saat ini kasus kekerasan seksual pada anak menjadi berita yang sering muncul di
berbagai media baik cetak maupun elektronik. Masyarakat
tentunya masih ingat kasus siswa di JIS (Jakarta
International School) yang menjadi korban pelecehan dan kekerasan seksual
oleh guru dan petugas cleaning service,
kemudian kasus Emon di Jawa Barat yang melakukan pelecehan seksual pada puluhan
anak-anak laki-laki dibawah umur, yang notabene adalah teman bermainnya, serta
yang paling hangat kasus PNF, gadis cilik malang di Jakarta yang berakhir
tragis ditemukan tidak bernyawa di dalam kardus. Dan penyelidikan pihak
kepolisian menunjukkan adanya indikasi kekerasan seksual (maaf : pemerkosaan)
dilakukan oleh pelaku yang tidak lain adalah tetangga dari PNF, dan lagi banyak
kasus yang lainnya.
Tindak
kekerasan seksual pada anak menjadi topik yang menarik untuk dikaji lebih
lanjut karena kasus yang ditemukan semakin bervariasi baik dari sisi modus
pelaku maupun usia korbannya. Karena anak-anak sebagai korban merupakan pihak
yang secara fisik dan psikologis lemah yang dimanfaatkan oleh orang dewasa yang
kebanyakan dari kasus yang ada memiliki
hubungan dekat dengan mereka, misalnya, paman, penjaga sekolah, sopir, dsb. Di
satu sisi, kekerasan seksual sebagai bentuk agresi seksual dengan cara paksa
yang disertai dengan ancaman dan bukan dalam arti ajakan suka rela untuk
melakukan hubungan seksual pada dasarnya adalah suatu bentuk tindak kejahatan
yang dinilai sangat menganggu
ketentraman, menimbulkan rasa trauma bagi masyarakat, terlebih lagi korban
(Hariadi dkk, 2000). Maraknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia
telah menjadi sorotan banyak pihak, bahkan media massa menyebutkan bahwa tahun
2013 merupakan tahun darurat pelecehan seksual anak Indonesia karena tingginya angka
kasus terjadinya pelecehan seksual pada anak.
Menurut
Consultation On Child Abuse Prevention (WHO,1990), terdapat lima jenis
perlakuan Kekerasan Terhadap Anak antara lain kekerasan fisik, kekerasan
seksual, kekerasan emosional, penelantaran anak, dan eksploitasi anak. Angka
kasus kekerasan seksual pada anak meningkat setiap tahunnya. Data Penelitian
oleh Simons et al (2008) di USA menunjukkan bahwa pada kasus pemerkosaan anak,
dilaporkan karena pelaku 73% melakukan dengan kekerasan pada anak, 65% telah
terpapar pornografi pada usia dibawah 10 tahun, dan melakukan masturbasi
sebanyak 60% dibawah usia 11 tahun, serta melakukan aktifitas eksual dengan
binatang sebanyak 38%. Menurut Komnas Perlindungan Anak,
pada semester pertama tahun 2013, terdapat 294 kasus (28%) kekerasan fisik, 203
kasus (20%) kekerasan psikis, dan 535 kasus (52%) adalah kekerasan
seksual. Itu berarti setiap bulan
terdapat 90-100 anak mengalami kekerasan seksual. Dimana bentuk kekerasan
seksual berupa sodomi(52 kasus), pemerkosaan (280 kasus) dan pencabulann (182
kasus) serta incest (21 kasus)
(Anastasia, 2013).
Bagaimanakah dengan di Kabupaten Jember? Sebagai gambaran
berdasarkan
data pendampingan korban oleh Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) BP2KB
Kabupaten Jember pada tahun 2011 mencatat kasus kekerasan terhadap anak sebesar
47 korban dimana bentuk kekerasan yang dialami anak sebesar 87% adalah
kekerasan seksual. Pelaku kekerasan ini tidak lain adalah keluarga atau kerabat
dekat, dengan jenis kekerasan terhadap korban
yang terbesar adalah kekerasan seksual sebesar 41 korban (87%), yang terkecil adalah kekerasan fisik, kekerasan psikis dan perdagangan
orang (human trafficking) sebesar 1 korban (2%).
Dampak Kekerasan anak dan HIV/AIDS
Kasus HIV dan AIDS yang dilaporkan oleh Komisi Penanggulangan AIDS (KPA)
Propinsi Jawa Timur sampai dengan
Bulan Juni tahun 2015, secara kumulatif di Jawa Timur telah ditemukan kasus HIV/AIDS sebanyak 13.925 kasus. Berdasarkan faktor risiko, kasus tertinggi berasal dari perilaku
heteroseks sebesar 79,33%, kemudian IDU sebesar 12,17%, homoseks sebanyak
3,76%, perinatal sebesar 3,53%, dan Biseks sebesar 0,86% serta lain-lain sebesar 0,34% (Komisi Penanggulangan AIDS Propinsi Jawa Timur, 2015). Kondisi ini juga tidak jauh berbeda
dengan di Kabupaten atau Kota di Jawa Timur. Artinya bahwa perilaku berisiko
seperti hubungan seks yang tidak aman baik secara heteroseks maupun homoseks
serta penyalahgunaan narkoba (IDU) memberikan kontribusi yang cukup besar terhadapa
munculnya kasus HIV dan AIDS di masyarakat.
Penyebab atau alasan seseorang menjadi homoseks masih menjadi perdebatan, apakah disebabkan oleh
kelainan secara biologis dimana didalamnya terdapat kelainan secara hormonal
dan kromosom atau disebabkan oleh lingkungan seperti trauma masa kecil, atau
sering diperlakukan sebagai seorang perempuan, pernah mengalami pelecehan
seksual, menyaksikan berbagai kejadian seksual dan lain sebagainya (Kartono, 1989). Beberapa penelitian menyebutkan bahwa penyebab seseorang
memiliki orientasi seksual yang “menyimpang” atau tidak normal seperti
homoseksual (lesbian, Gay, Biseks dan transgender atau waria) adalah pola asuh orang tua
yang keras (koersif). Akibatnya pola
mendidik anak sangat keras, terutama ayah yang sangat temperamental dan kerap melakukan keserasan fisik dan psikologis pada ananknya. Hubungan buruk dengan orang tua merupakan hal serius
karena mengurangi perasaan aman anak. Anak yang mengalami kekurangan hubungan
dengan orang tua akan mengalami trauma emosional yang hebat (Hurlock, 2004). Akibatnya anak akan kehilangan figur ayah yang menjadi
pelindung dan panutan di dalam keluarga. Sehingga dia kan mencari figur orang
tua di luar rumah. Hal ini yang menimbulkan kerawanan dari anak-anak dan remaja
mengalami kekerasan di luar rumah.
Seseorang ketika menjadi homoseks lebih karena identifikasi dan asimilasi
peran seks yang tak seharusnya didapat pada masa anak-anak (Siahaan, 2009). Yang termasuk dalam kategori ini lebih disebabkan karena pola asuh orang tua dalam
hal ini adalah ayah yang keras dan temperamental. Dalam perspektif belajar, anak belajar bertingkah laku agresif melalui
imitasi atau model terutama dari orang tuanya, guru dan anak-anak lainnya.
Kekerasan biasanya bersifat turun temurun, sebab anak-anak akan belajar tentang
bagaimana akan berhadapan dengan lingkungan dari orang tuanya (Margaretha dkk,
2013). Pada fase identifikasi saat anak berusia 6-8 tahun inilah
peran pola asuh orangtua sangat menentukan. Keadaan dimana
seseorang mengalami stess bahkan depresi karena kehilangan figure ayah maka
menyebabkan secara mental seorang anak mengalami gangguan. Anak laki-laki harus mendapat perhatian cukup dari figur ayah dan anak
perempuan dari figur ibu. Pada saat tidak terjadi keseimbangan peran ayah dan
ibu dalam hubungannya dengan anak, si anak akan mengambil alih identitas
psikoseksual yang tidak tepat. Misalnya anak laki-laki yang tidak mendapat
peran figur ayah yang cukup, ayah terlalu keras terhadap anak, otomatis lebih
dekat dengan sosok ibu. Apabila diteruskan, anak lelaki itu akan mengambil alih
karakteristik perempuan, termasuk orientasi seksualnya. Teori lain
menyebutkan bahwa selama fase odipal
conflict ada ketakutan atau dendam kepada figur ayah (castration anxiaty) dikatakan bisa mengubah anak laki-laki untuk
menjauhi ibunya sebagai obyek seksual dan pada akhirnya pada semua perempuan (Pambudy dan Fitrianto, 2009).
Penelitian lain oleh Hidayangsih dkk (2009) menyebutkan
terdapat korelasi yang signifikan antara KDRT (kekerasan dalam Rumah Tangga)
dengan perillaku berisiko. Analisis korelasional menemukan hubungan
antara trauma masa kanak-remaja dengan tingkat agresivitas masa dewasa adalah
signifikan dan positif (Margaretha dkk,
2013). Kondisi dimana
dalam pola asuh orang tua, memungkinkan
adanya gangguan relasi antara anak dan orang tua, yang sifatnya tidak harmonis,
kontroversi, kejam, penuh kemunafikan, tidak adanya relasi yang baik antara
ayah dengan anak laki-laki, konstelasi keluarga yang patologis, semua menjadi
fasilitas atau predisposisi untuk perkembangan penyimpangan-penyimpangan
seksual
(Kartono, 1989). Penyimpangan yang
dimaksud pada para korban kekerasan seksual adalah adanya orientasi
seksual menyimpang pada saat dewasa seperti homoseks yang selalu diidentikan
dengan gaya hidup seksual (sexual
lifestyle) yang melekat dalam dirinya yang dipengaruhi oleh lingkungan
sosial dan budaya yang ada disekitarnya serta berdampak pada kesehatannya, karena tingginya risiko penularan terhadap Infeksi Menular Seksual (IMS)
termasuk didalamnya HIV dan AIDS.
Sisca dan
Moningka (2009) mengatakan bahwa kekerasan seksual yang terjadi pada masa
kanak-kanak merupakan suatu peristiwa krusial karena membawa dampak negatif
pada kehidupan korban di masa dewasanya. kekerasan seksual yang terjadi tidak
sesederhana dampak psikologisnya. Korban akan diliputi perasaan dendam, marah,
penuh kebencian yang tadinya ditujukan kepada orang yang melecehkannya dan
kemudian menyebar kepada obyek-obyek atau orang-orang lain (Fuadi, 2011). Dalam
studi empiris telah mengindikasikan bahwa adanya reaksi yang permanen pada
populasi korban kekerasan seksual pada anak yang meliputi : ketakutan, gelisah,
depresi, marah dan penuh kebencian, agresi, dan perilaku seksual yang
menyimpang (Brown & Finkelhor, 1986).
Solusi Efektif Mencegah
Kekerasan Pada Anak
Dari paparan
kondisi yang disebutkan di atas, diperlukan upaya pencegahan sejak dini pada
anak dalam melindungi mereka dari sex predators.
Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam mencegah terjadinya kekerasan
seksual pada anak adalah dengan meningkatkan perilaku (pengetahuan, sikap dan
tindakan) anak-anak tentang kesehatan reproduksi, sehingga mereka mampu untuk
menolak terhadap kejadian kekerasan seksual yang dialaminya. Pendidikan
kesehatan reproduksi pada anak-anak sekolah sangat efektif untuk memberikan
pengetahuan tentang kesehatan reproduksi sehingga manfaat diberikannya
pendidikan tersebut bisa tercapai. Usia anak didik yang biasa masuk bangku
sekolah dasar baik negeri atau swasta yaitu 7-13 tahun. Anak dalam golongan ini
masih dalam taraf pertumbuhan dan perkembangannya, hingga masih mudah dibimbing
dan dibina untuk menanamkan kebiasaan hidup sehat sehari-hari (Natalina, 2009).
Minat pada seks lebih besar setelah anak masuk sekolah karena hubungan dengan
teman sebaya bertambah kerap dan erat, berbeda dengan waktu pergaulan mereka
terbatas pada kelompok bermain di lingkungan sekitar rumah. Sepanjang masa
sekolah, minat pada seks meningkat, dan biasanya mencapai puncaknya selama
periode perubahan pubertas (Hurlock, 1978) . Untuk membekali agar siswa dapat
menyadari hak-haknya secara baik, sudah barang tentu kepada mereka perlu
diberikan pembekalan tentang Kekerasan Terhadap Anak (child abuse), pengertian
dan batasan child abuse, dampak child abuse dan sebagainya, yang intinya di
masa yang akan datang program penanganan child abuse di lingkungan sekolah ini
dapat ditangani sendiri oleh anak secara mandiri (Suyanto et al, 2000).
Oleh sebab itu perlu adanya peran
sekolah dalam meningkatkan pengetahuan siswa sekolah dasar tentang perilaku
sederhana dalam menjaga organ reproduksi, yang meliputi: menjaga kebersihan
alat vital dengan membersihkan dengan air setelah buang air, mengganti celana dalam
minimal dua kali sehari, serta menggunakan toilet pada saat buang air.
Tingginya kasus kekerasan seksual pada
anak (child abuse) yang dilakukan
oleh orang-orang terdekat anak termasuk keluarga menunjukkan pentingnya
pemahaman akan pendidikan seks pada usia dini. Berkenaan dengan domain hubungan
yang menghambat pengungkapan seringkali dikaitkan dengan jurang pemisah. Selama
ini membicarakan dan mendiskusikan masalah seksualitas sangat sulit dilakukan
karena menganggap sesuatu yang rahasia, ditambah lagi stuktur sosial yang tidak
mendukung (Suryani, 2012). Masalah pendidikan seks di kalangan masyarakat awam
dianggap hal yang tabu dan belum waktunya diberikan pada anak-anak. Sehingga
orang tua menyerahkan masalah pendidikan termasuk pendidikan seks pada sekolah.
Upaya
dalam rangka meminimalkan dampak negatif yang lebih menghawatirkan ketika anak
mengalami pelecahan atau kekerasan seksual adalah menanamkan softskill keberanian dan percaya diri
untuk menangkal pelecehan seksual. Adapun upaya awal yang dapat dilakukan oleh
anak-anak ketika mengalami pelecahan dan kekerasan seksual (misal : diraba alat vitalnya oleh
orang asing) adalah dengan cara melawan, berteriak, kemudian lari menuju pada
orang tua atau orang lain yang dikenal. Hal ini seperti pada implementasi pelajaran Personal Social
Health Education (PSHE) di Inggris Raya di tingkat Key Stage 2 (ekivalen
dengan kelas 4-6 SD). Pada tahap ini, anak didik diajarkan pengetahuan,
keterampilan dan pemahaman mengenai: 1) kepercayaan diri dan tanggung jawab, memanfaatkan
bakat dan kemampuan mereka, 2) menghadapi tantangan perilaku menyimpang dari
luar dan mampu membuat pilihan yang sehat dan bertanggung jawab. Anak didik
belajar bagaimana mereka tumbuh dan berkembang, mengalami perubahan fisik
maupun kejiwaan baik sebagai individu maupun anggota masyarakat. Mereka menjadi
lebih matang, mandiri dan percaya diri. Semua
perubahan tersebut yang terjadi pada masa pubertas, juga akan mengiringi
transisi mereka dari SD ke Sekolah Menengah. Perubahan ini tentunya membutuhkan
dukungan dan motivasi dari sekolah. Seyogyanya mereka mendapatkan bekal
pengetahuan, pemahaman dan keterampilan tentang kesehatan reproduksi remaja,
lingkungan yang sehat, tanggung jawab perilaku sehat dan menjadi agen promosi
kesehatan bagi kelompoknya (Pertiwi, 2012).
Bagaimana dengan peran pemerintah setempat ? Setidaknya
kita bisa belajar upaya yang pernah dilakukan oleh Badan Pemberdayaan Perempuan
dan Keluarga Beencana (BP2KB) Kabupaten Jember pada tahun 2013 dengan
memberikan pelatihan singkat pada para guru PAUD, TK dan serta SD tentang
bagaimanakah mengajarkan ke anak didik tentang pengenalan tubuh dan upaya
menjaganya dari tindak pelecehan seksual. Selain itu, kita bisa belajar dari Bu
Risma Walikota Surabaya yang turut serta dalam program TANGKIS yang dilakukan
oleh Yayasan Peduli Anak bekerjasasama dengan Jawa Pos untuk mensosialisasikan
kemandirian anak-anak usia playgroup
dan TK untuk berani menolak dan berteriak apabila ada orang asing yang
menyakiti mereka.
Selain pihak sekolah dan pemerintah, keluarga juga bisa
mengambil peran dengan melakukan upaya
preventif dalam lingkup kehidupan keluarga dengan memberikan pola asuh dan kasih sayang yang
tepat dalam perkembangan dari masa anak-anak,
remaja dan sapai pada masa
dewasanya. Selain itu, menciptakan komunikasi yang terbuka
antara anak dan orang tua menjadi hal yang mutlak untuk bisa memahami
permasalahan anak kita. Agar mereka tidak mencari tempat curhat yang tidak
tepat seperti dari internet atau teman sebaya mereka yang belum tentu informasi
yang mereka dapatkan benar dan tepat. Kita bisa mengutip ungkapan dari seorang
Psikolog terkenal di Jakarta yang mengungkapkan bahwa kegagalan sebagai orang
tua adalah ketika dirinya tidak menjadi tempat curhat anaknya. Semoga hal ini bisa menjadi renungan kita semua,
sebagai orang yang sangat peduli dengan kesejahteraan anak-anak kita.
(OPINI ini dimuat pada Jawa Pos Radar Jember dalam rangka refleksi peringatan World AIDS Day 1 Desember 2015)