Selasa, 07 Januari 2014
DAMPAK IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENUTUPAN TEMPAT LAYANAN SOSIAL TRANSISI UNTUK PSK DAN PENUTUPAN PROSTITUSI TERHADAP PROGRAM PENANGGULANGAN HIV/AIDS DI KABUPATEN JEMBER
DAMPAK
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENUTUPAN TEMPAT LAYANAN SOSIAL TRANSISI UNTUK PSK DAN
PENUTUPAN PROSTITUSI TERHADAP PROGRAM PENANGGULANGAN HIV/AIDS DI KABUPATEN
JEMBER
(The
Impact Policy Implementation of Transition Social Services Place Closure
for the Commercial Sex Worker and the Prostitution Closure to the
HIV/AIDS Countermeasures Program in Jember Regency))
Dewi Rokhmah1, Khoiron2
1,2 School of
Public Health, University of Jember. Correspondence: Jl. Kalimantan I/93
Jember. Telp (0331-337878). Fax (0331-322995) email: dewikhoiron@yahoo.com; hp:
+6281215400530.
ABSTRACT
Background
: The Regency Decree number
188.45/39/012/2007 on the Transition
Social Services Place Closure for the Commercial Sex Worker and the
Prostitution Closure in Jember district, has adverse impacts in the
implementation of HIV/AIDS transmission prevention especially through sexual
transmission.
Objection : The aims of this research is
analyzing the Impact policy implementation of transition social services place closure for the commercial sex worker and the prostitution closure to the HIV/AIDS countermeasures
program.
Methods : This research is descriptive analitic method used secondary data
from the report of HIV/AIDS program in Jember Regency at 2012. Collected data is analized descriptively with table and narration.
Result : The
impacts of that Regency Decree on closing the transition social service place
for the sex worker in Puger, Jember district include (1) The prostitution closure
would lead the transition social service place for the illegal sex worker be
increase and spread in Jember district, (2) Health coaching and behavior change
communication to the sex worker become more hard, (3) The amount of HIV/AIDS
cases each year be higher. In 2004, the amount of HIV/AIDS cases is 1 and be
higher every year until in 2012 the cumulative amount cases of HIV/AIDS in
Jember district are 822. By the data of the sufferer, according to the highest risk factor is
through the heterosexual transmission with 685 cases (83.3 %). This suggest
that the transmission occurred from the sex worker to the consumer and also
from the consumer to the sex worker. So, the transmission to the house wife
also increasing followed by the mother to baby transmission.
Conclusion
: Jember district
Government needs to conduct a relevant review to the Regency Decree number
188.45/39/012/2007 on the Transition
Social Services Place Closure for the Commercial Sex Worker and the
Prostitution Closure in Jember district which have been predefined.
Sugestion : For that, it's really needed the meeting among
the stakeholders, Jember AIDS Commission, Health department of Jember district,
SKPD, and also other institutions to review that Regency Decree.
Keywords : impact, implementation, prostitution closure regulation, HIV/AIDS
PENDAHULUAN
Dalam tujuan Millenium Development Goals 2015, pada tujuan 6 disebutkan adanya
upaya penurunan penyakit menular HIV/AIDS. Penyakit ini dengan cepat dapat
menyebar ke seluruh dunia (pandemik). Saat ini diperkirakan ada 30-50 juta
orang pengidap HIV yang belum menunjukkan gejala apapun, tetapi potensial
sebagai sumber penularan. Jumlah kasus HIV/AIDS semakin tahun semakin bertambah. Jumlah kasus
HIV/AIDS di dunia pada akhir tahun 2011 sebanyak 34 juta. Jumlah kasus di Asia
Tenggara pada akhir tahun 2011 sebanyak 4 juta kasus [1]. Di
Indonesia secara kumulatif kasus HIV/AIDS mulai 1 April 1987 hingga 31 Desember
2012, jumlah HIV sebanyak 98,390, jumlah AIDS sebanyak 42,887. Jumlah HIV di
provinsi Jawa Timur sampai dengan Desember 2012 sebanyak 12,862, dan jumlah
AIDS sebanyak 6,900 jiwa [2]. Untuk jumlah kasus HIV/AIDS di
Kabupaten Jember hingga bulan Desember sebanyak 822 kasus [3].
Data statistik dan hasil pemodelan
matematik menunjukkan bahwa jalur utama penularan HIV di Indonesia dewasa ini
dan ke depan adalah melalui transmisi seksual. Menurut Menteri Kesehatan Ibu
Nafsiah Mboi dalam rangka Hari AIDS Sedunia 2012 di Jakarta, pola penularan
tertinggi yaitu, melalui transmisi seksual sebesar 81,8 persen. Sedangkan dalam
Jawa Pos National Networking (2012), pada penularan akibat penggunaan alat
suntik tidak steril hanya 12,4 persen. Namun, temuan-temuan terutama hasil
Surveilens Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) dari 2002, 2004 sampai dengan
2007, menunjukkan belum berubahnya perilaku tidak aman pada hubungan seksual
berisiko pada semua kelompok-kelompok populasi kunci [4].
Hasil-hasil kajian, survailans dan
data epidemologis HIV dan AIDS di Indonesia menunjukkan adanya keragaman dan perbedaan-perbedaan
dalam situasi epidemi tergantung antara lain pada siapa yang berisiko
terinfeksi, pilihan orang dalam menghadapi situasi, kesempatan maupun tanggung
jawab yang dimiliki [5]. Terjadinya perubahan dalam perkembangan
epidemi tampak antara lain dari cara penularan : Bulan Juni 2006 dilaporkan
Kementrian Kesehatan, bahwa 54,4 % dari kasus AIDS yang baru terjadi di
kalangan penasun karena penularan melalui alat suntik, sedangkan Bulan Juni
2011 angka tertsebut turun menjadi 16,3%. Sebaliknya dalam kurun waktu yang
sama, penularan heteroseksual meningkat dari 38,5% pe menjadi 76, 3%. Akibat
dari makin meningkatnya penularan melalui hubungan seks berbeda jenis
(heteroseksual) ini adalah makin meningkatnya jumlah perempuan dan bayi yang
dilaporkan sebagai kasus AIDS yang baru : Juni 2006 persentase kasus AIDS baru
pada perempuan adalah 16,9%, Tahun 2011 menjadi 35,1%, sedangakan penularan
perinatal (dari ibu ke bayi) meningkat dari 2,16% menjadi 4,7% [6].
Hal ini ditindaklanjuti dengan
Keputusan Presiden Nomor 36, tahun 1994 tentang Pembentukan Komisi
Penanggulangan AIDS (KPA) dan KPA Daerah dan Peraturan Presiden No. 75 Tahun
2006 mengamanatkan perlunya peningkatan upaya pengendalian HIV dan AIDS di
seluruh Indonesia, serta Pembentukan Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi dan
Kabupaten/ Kota Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2007 [13,16].
Di kabupaten Jember, respon harus ditujukan untuk mengurangi semaksimal mungkin
peningkatan kasus baru dan kematian, dengan pembentukan Komisi Penanggulangan
AIDS Kabupaten Jember sebagaimana dimaksud pada Keputusan Bupati Jember Nomor :
188.45/330.1/012/2004.
Namun dengan adanya
SK Bupati Nomor 188.45/ 39
/012/2007 Tentang Penutupan Tempat Layanan Sosial
Transisi untuk Pekerja Seks Komersial dan Penutupan
Prostitusi Di Kabupaten Jember, mempunyai dampak yang tidak menguntungkan dalam
pelaksanaan program pencegahan HIV/AIDS khususnya melalui pencegahan penularan
transmisi seksual.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis dampak implementasi kebijakan penutupan lokalisasi berdasarkan SK
Bupati Kabupaten Jember Nomor : 188.45/
39 /012/2007 Tentang Penutupan Tempat Layanan Sosial
Transisi untuk Pekerja Seks Komersial dan Penutupan
Prostitusi Di Kabupaten Jember terhadap program penanggulangan HIV/AIDS di
Kabupaten Jember, dengan menggunakan metode diskriptif analitik menggunakan data
sekunder dengan telaah dokumen yang bersumber dari laporan Pelaksanaan Program
Penanggulangan HIV/AIDS di Kabupaten Jember sejak Tahun 2004 sampai 2012.
Penelitian ini dilakukan pada Bulan Febuari sampai dengan Bulan Mei tahun 2013.
HASIL PENELITIAN
DAN PEMBAHASAN
1.
Pelaksanaan Program Penaggulangan HIV dan AIDS di
Kabupaten Jember
Program penanggulangan AIDS yang dilakukan di Kabupaten
Jember oleh KPAD Kabupaten Jember meliputi : Komunikasi perubahan perilaku (KPP), Pemakaian kondom 100% di
daerah berisiko, Layanan klinis infeksi menular seksual (IMS) di Puskesmas
Puger, Program
Pengurangan Dampak Buruk (harm reduction)
Penggunaan Narkoba Suntik, Konseling dan testing sukarela (KTS
atau VCT) adalah program pencegahan sekaligus jembatan untuk mengakses layanan
manajemen kasus (MK) dan CST (Perawatan, dukungan, dan pengobatan bagi ODHA di tiga tempat yaitu Rumah
Sakit Daerah Dr. Soebandi, dan Rumah Sakit Daerah Balung, Program CST merupakan
layanan terpadu & berkesinambungan untuk mengurangi atau menyelesaikan
permasalahan yang dihadapi ODHA, baik bagi aspek medis, psikologis maupun social [15].
Sasaran KPA Kabupaten Jember
diarahkan terutama pada populasi beresiko tinggi yang terdiri dari kelompok rentan,
kelompok berisiko tertular dan kelompok tertular. Di Indonesia terdapat
populasi kunci yang bersifat kompleks dengan perilaku berisiko tinggio serta
berbeda-beda antara satu propinsi dengan propinsi lain [7]. Kelompok
rentan adalah mereka yang karena lingkup pekerjaan, lingkungan, rendahnya
ketahanan dan kesejahteraan keluarga, status kesehatan, menjadi rentan terhadap
penularan HIV. Diantaranya termasuk : Orang dengan mobilitas tinggi (Khususnya
laki-laki), Perempuan, Remaja, Anak jalanan, Keluarga miskin, Ibu hamil, dan Penerimaan
transfusi darah. Sedangkan yang kedua adalah kelompok beresiko tertular adalah
orang-orang yang berperilaku resiko tinggi (ganti-ganti pasangan seks tanpa
kondom, menggunakan alat suntik secara bergantian), Penjaja seks (Laki-laki,
perempuan dan waria) dan pelanggannya, dan Penyalahgunaan napza suntik.
Kelompok yang ketiga adalah kelompok tertular adalah anggota masyarakat yang
sudah terinfeksi HIV (ODHA). Ketiga kelompok ini merupakan populasi kunci yang
menentukan keberhasilan program pencegahan dan pengobatan, sehingga mereka
perlu ikut aktif berperan dalam penanggulangan HIV dan AIDS, baik bagi dirinya
maupun orang lain [5].
2. Upaya Pemerintah Kabupaten Jember melalui SK Bupati Nomor :
188.45/39/012/2007
Pada Bulan Maret Tahun 2007, Bupati Jember
mengeluarkan Surat Keputusan Bupati Jember Nomor : 188.45/39/012/2007 Tentang
Penutupan Tempat Layanan Sosial Transisi untuk Pekerja Seks Komersial dan
Penutupan Prostitusi Di Kabupaten Jember [14]. Adapun yang
menjadi pertimbangan bahwa keberadaan lokalisasi rehabilitasi prostitusi Puger
Kulon sebagai tempat pelayanan sosial transisi bagi pekerja seks komersial
maupun tempat prostitusi di Kabupaten Jember tidak sesuai dengan norma – norma
masyarakat yang religius dan bertentangan dengan adat istiadat yang berkembang
dalam masyarakat. Selain itu, pertimbangan penutupan lokalisasi Puger
dilakukan dengan
adanya alih fungsi rehabilitasi prostitusi sebagai tempat pelayanan sosial transisi sudah
berakhir pada tahun 2005.
Dalam SK Bupati Nomor 188.45/ 39
/012/2007 Tentang Penutupan Tempat Layanan Sosial Transisi untuk Pekerja
Seks Komersial dan Penutupan Prostitusi Di Kabupaten Jember, disebutkan bahwa penutupan
Tempat Pelayanan Sosial Transisi Puger dilaksanakan pada tanggal 1 April 2007
sampai dengan selesai, serta Pentupan Tempat Prostitusi liar lainnya di
Kabupaten Jember dilaksanakan pada tanggal 1 Mei 2007 sampai dengan selesai.
Penutupan yang dimaksud meliputi penanganan Pekerja Seks Komersil dan Mucikari
serta dampak sosial lainnya.
Namun dalam pelaksanaannya, penutupan
lokalisasi hanya dilakukan secara simultan di satu waktu tanpa adanya pendampingan
mantan PSK pasca penutupan, serta tanpa adanya koordinasi secara lintas sektor
dalam penanganan selanjutnya. Walupun telah dibentuk Tim Penanganan Pekerja
Seks Komersial dengan susunan keanggotaan dari unsur Bupati, Muspika dan
beberapa Dinas terkait serta PKK. Kondisi ini mempunyai dampak yang tidak
menguntungkan dalam pelaksanaan program pencegahan HIV/AIDS khususnya melalui
pencegahan penularan melalui transmisi seksual.
3. Dampak SK Bupati Nomor :
188.45/39/012/2007 Terhadap
Program Penanggulanan HIV dan AIDS di kabupaten Jember
Dampak dari adanya Surat Keputusan
Bupati tentang penutupan tempat layanan sosial transisi untuk pekerja seks
komersial di Puger Kabupaten Jember meliputi jumlah
tempat layanan sosial transisi untuk pekerja seks komersial ilegal bertambah
dan menyebar di wilayah Kabupaten Jember. Hal ini diikuti dengan permasalahan
sulitnya pembinaan
layanan kesehatan dan upaya komunikasi perubahan perilaku terhadap PSK. Dengan
ditutupnya lokalisasi Puger, mengakibatkan para PSK mencari alternatif tempat
lain seperti di warung makan atau warung lesehan yang berlokasi di sekitar
pemukiman warga. Hal ini sangat berpotensi memunculkan lokalisasi illegal. Hal
ini seperti hasil penelitian oleh Kenderwis dan Yustina (2009) yang mengungkapkan bahwa di Kabupaten langkat
terdapat banyak rumah makan atau kafe yang berada di sepanjang Jalan lintas
Sumatra di mana tempat yang dimaksud berfungsi sebagai lokalisasi transaksi
seksual tidak resmi atau ilegal yang sangat berpotensi menjadi sumber penularan
HIV/AIDS [8].
Berdasarkan hasil pelaksanaan program
penanggulangan HIV/AIDS di Kabupaten Jember oleh KPAD dan LSM Laskar, terdapat
beberapa lokalisasi ilegal di wilayah sekitar lokalisasi Puger serta beberapa
tempat di setiap kecamatan yang ada di Kabupaten Jember. Hal ini dapat dilihat
berdasarkan pada pemetaan berikit ini :
Gambar 1. Peta Sebaran Lokalisasi Ilegal
Dari gambar peta diatas terlihat
bahwa dengan penutupan lokalisasi legal di Puger, mengakibatkan munculnya
lokalisasi ilegal baik di warung makan atau warung lesehan di pinggir jalan,
maupun di cafe atau tempat karaoke. Warna hitam menunjukkan lokalisasi legal
yang ditutup oleh pemerintak Kabupaten Jember. Sedangkan warna merah
menunjukkan penyebaran lokalisasi ilegal dengan tingkat kasus HIV/AIDS tinggi.
Warna kuning menunjukkan sebaran lokalisasi ilegal yang berdampak pada
ditemukannnya kasus HIV/AIDS dengan jumlah sedang. Dan warna hijau menunjukkan
sebaran lokalisasi ilegal dengan kategori rendah yang ditunjukkan dengan
penemuan kasus HIV/AIDS dengan jumlah sedang. Keadaan lokalisasi yang tidak
resmi atau ilegal dapat menjadi sumber penularan penyakit HIV/AIDS, karena PSK
merupakan salah satu kelompok resiko tinggi penular penyakit HIV/AIDS [8].
Pada Tahun 2006, Departemen Kesehatan memperkirakan bahwa sejumlah 221.000
Penjaja Seks Perempuan (PSP) beroperasi diberbagai macam tempat, misalnya
lokalisasi pelacuran, tempat hiburan, panti pijat dan di jalanan [7].
Para PSK di tempat-tempat ini tidak
resmi melakukan transaksi seksual dengan pelanggannya. Akibatnya program
penanggulangan HIV/AIDS juga mengalami kendala dalam menjangkau mereka. Dengan
kata lain, layanan kesehatan dan upaya komunikasi perubahan perilaku terhadap
PSK menjadi sulit. Masalah dalam mengatasi PSK di tempat-tempat ilegal atau
tidak resmi adalah karena tempat-tempat teresebut tidak terdaftar secara resmi
sebagai tempat dimana transaksi seksual terjadi, pendidikan tentang HIV dan
AIDS dan khususnya penggunaan kondom lebih jarang terjadi [7]. Pola
pekerjaan PSK yang ilegal dianggap ilegal pula secara hukum sehingga ada rasa
ketidaknyamanan dan ketdakamanan ketika mereka bekerja, kesulitan mencari klien
terlihat lebih besar dibandingkan dengan WPS di lokalisasi sehingga dapat
disimpulkan bahwa posisi tawar mereka sangat rendah dengan klien [9].
Salah satu strategi yang
dikembangkan dalam memutus mata rantai penularan IMS dan HIV/AIDS ini adalah
melalui pencegahan penularan melalui hubungan seksual, antara lain dengan
kegiatan promosi kondom pada kelompok berisiko tinggi termasuk terhadap Wanita
penjaja Seks (WPS) di jalanan yang keberadaannya sulit diidentifikasi sementara
transaksi seks diantara mereka cukup tinggi dan rawan terkena IMS dan HIV/AIDS [10].
Selain permasalahan yang disebutkan
di atas, dampak dari dikeluarkannya SK Bupati Jember Nomor 188.45/ 39
/012/2007 Tentang Penutupan Tempat
Layanan Sosial Transisi untuk Pekerja Seks Komersial dan Penutupan Prostitusi Di Kabupaten
Jember, adalah jumlah kasus HIV/AIDS setiap tahun makin bertambah. Hal ini
dapat dilihat dari Laporan Data Dinas Kesehatan Kabupaten Jember tentang
Laporan Program Penanggulangan HIV/AIDS di Kabupaten Jember berikut ini :
Dari Gambar di atas dapat diketahui
bahwa pada tahun 2004 jumlah kasus HIV/AIDS sebesar 1, dan terus meningkat
setiap tahun hingga tahun 2012 jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Kabupaten
Jember sudah mencapai 822 kasus. Dari
data di atas terlihat bahwa dengan diturunkannya SK Bupati Nomor 188.45/ 39
/012/2007 Tentang Penutupan Tempat
Layanan Sosial Transisi untuk Pekerja Seks Komersial dan Penutupan Prostitusi Di Kabupaten
Jember tidak dapat menurunkan jumlah penderita HIV/AIDS. Bahkan setelah tahun
2007 jumlah ODHA justru meningkat dari 52 kasus pada tahun 2007 menjadi 83
kasus pada tahun 2008.
Dari jumlah total ODHA tersebut, berdasarkan
faktor risiko, penularan melalui heteroseksual sebesar 685 kasus (83,3%). Hal
ini menunjukkan bahwa penularan terjadi dari PSK kepada pelanggan dan
sebaliknya. Diperkirakan bahwa terdapat lebih dari tiga juta laki-laki di
Indonesia yang merupakan pelanggan penjaja seks perempuan (kisaran
2.324.660-3.981.180) [11]. Berdasarkan Faktor Risiko untuk penderita
HIV/AIDS dapat dilihat pada gambar berikuit ini :
Kondisi di atas sangat mungkin
disebabkan karena adanya lokalisasi ilegal yang banyak ditemui di sekitar
pemukiman masyarakat. Kemungkinan para laki-laki untuk membeli seks lebih mudah
mereka lakukan karena tidak ada label
lokalisasi khusus seperti sebelumnya. Akibatnya mereka tidak punya
kekhawatiran untuk mendapatkan stigma negatif sebagai pembeli seks dari para
PSK. Penularan infeksi HIV melalui hubungan seksual merupakan yang paling
banyak terjadi [12]. Kondisi ini dibuktikan dengan data dari sisi
faktor risiko penderita HIV/AIDS pada Triwulan 1 tahun 2013 berikut ini :
Dampak lain dari peningkatan jumlah
kasus HIV/AIDS berdasarkan faktor risiko heteroseks adalah adanya kemungkinan penularan
kepada ibu rumah tangga yang terus meningkat serta diikuti dengan peningkatan
penularan dari ibu ke bayi. Kehamilan akan mempercepat timbulnya gejala
penyakit AIDS pada wanita sero positif HIV. Diperkirakan 50 % bayi yang lahir
dari ibu yang sero positif HIV, akan terinfeksi HIV sebelum, selama, dan tidak
lama sesudah melahirkan [12]. Hal ini terjadi karena ibu rumah
tangga yang tidak mempunyai pekerjaan sebagai PSK atau memiliki aktifitas
penggunan narkoba suntik ditularkan oleh suami yang sering membeli seks pada
PSK di lokalisasi ilegal. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Adisasmito
(2010) yang mengungkapkan bahwa wanita usia subur biasanya tertular HIV melalui
hubungan heteroseksual [12]. Secara rinci hal ini dapat dilihat pada
gambar berikut ini :
Dari segi usia, para penderita
HIV/AIDS (ODHA) mayoritas berusia 25-49 tahun yaitu sebesar 72%, serta usia
20-24 tahun diurutan kedua sebesar 16%. Usia tersebut masuk dalam kategori usia
produktif dan dalam masa seksual aktif. Di Indonesia, rasio kasus HIV antara
laki-laki dan perempuan adalah 4:1. Persentase infeksi terbesar adalah kelompok
usia 20-29 tahun yakni sebesar 24,05% [7]. Ada kemungkinan mereka
sudah memiliki pasangan tetap (istri) tetapi masih melakukan hubungan seksual
dengan cara membeli seks dari PSK di lokalisasi ilegal. Hal ini dapat dilihat
berdasarkan gambar berikut ini :
Dari penjelasan yang dipaparkan di
atas, membuktikan bahwa penutupan lokalisasi Puger berdasarakan SK Bupati
Jember Nomor 188.45/ 39 /012/2007 Tentang Penutupan Tempat Layanan Sosial Transisi untuk Pekerja Seks Komersial dan Penutupan Prostitusi Di Kabupaten
Jember tidak dapat menurunkan jumlah orang dengan HIV/AIDS. Bahkan tren
penderita dari tahun ke tahun selalu mengalami kenaikan. Dalam Strategi
Nasional 2007-2010 (bagian 1,2,3) melaporkan bahwa HIV secara tidak
proporsional mempengaruhi kaum muda dan mereka yang berusia produktif (94 %
dari kasus HIV yang terjadi menimpa kelompok umur produktif antara 19-49 tahun)
sehingga epidemi HIV/AIDS akan berpengaruh besar terhadap ketersediaan dan
produktifitas tenaga kerja, juga berimbas kepada problem kemiskinan yang
bertambah parah dan disparitas ekonomi yang disebabkan oleh imbas dari epidemi
HIV dan AIDS terhadap individu dan juda ekonomi negara [7].
Kondisi di atas menunjukkan bahwa
AIDS bukan merupakan persoalan lokal, tetapi merupakan ancaman serius terhadap
pembangunan Bangsa Indonesia secara nasional. Dengan kata lain, upaya
penanggulangan AIDS yang terpencar, terbatas dan tak terkoordinasi tidak mampu
mengendalikan epidemi HIV/AIDS di Indonesia. Oleh karena itu dibutuhkan
intervensi struktural melalui pendekatan komprehensif untuk mempengaruhi
tatanan yang ada (sosial, pekerjaan, kepemerintahan), dan bekerjasama dengan
perorangan maupun kelompok untuk mengubah lingkungan mereka secara positif oleh
mereka dan untuk mereka [5].
KESIMPULAN DAN SARAN
Program Penanggulangan HIV/AIDS di Kabupaten Jember
telah dilksanakan sejak tahun 2004 yang ditandai dengan pembentukan KPAD
Kabupaten Jember, dengan sasaran kelompok populasi berisiko. Namun pada tahun
2007, dengan tujuan untuk mengendalikan jumlah kasus HIV/AIDS, pemerintah
daerah Kabupaten Jember, melaui SK Bupati Nomor 188.45/39/012/2007 Tentang Penutupan
Tempat Layanan Sosial Transisi untuk Pekerja Seks Komersial dan Penutupan
Prostitusi Di Kabupaten Jember dilakukan penutupan lokalisasi Puger. Dampak dari
penutupan lokalisasi Puger mengakibatkan munculnya lokalisasi tidak resmi atau
ilegal yang tersebar hampir diselur kecamatan di Kabupaten Jember. Hal ini
mengakibatkan layanan
kesehatan dan upaya komunikasi perubahan perilaku terhadap PSK menjadi sulit serta angka
kasus HIV/AIDS semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Pemerintah Kabupaten
Jember perlu melakukan peninjauan ulang terkait SK Bupati Nomor
188.45/39/012/2007 Tentang Penutupan Tempat Layanan Sosial Transisi untuk
Pekerja Seks Komersial dan Penutupan Prostitusi Di Kabupaten Jember yang sudah
ditetapkan. Untuk itu sangat dibutuhkan pertemuan antar pemangku kebijakan,
Komisi Penanggulangan AIDS Kabupaten Jember, Dinas Kesehatan Kabupaten Jember
dan SKPD atau lembaga terkait untuk meninjau ulang Surat Keputusan Bupati
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
[1]. UNAIDS. 2012. Global Report, UNAIDS Report on the
Global AIDS Epidemic | 2012. [SerialOnline]http://www.unaids.org/en/media/unaids/contentassets/documents/epidemiology/2012/gr2012/20121120_UNAIDS_Global_Report_2012_en.pdf.
(15 Maret 2013)
[2]. Kemenkes RI. 2013. Laporan
Perkembangan HIV/AIDS Triwulan IV Tahun 2012. Jakarta: Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. [Serial Online] http://www.aidsindonesia.or.id/ck_uploads/files/LAPORAN%20HIV-AIDS,TRIWULAN%204,%202012(2).pdf.
(15 Maret 2013)
[3]. Komisi Penanggulangan AIDS Kabupaten Jember.
2013. Data Situasi Desember 2012. Jember.
KPA Kabupaten Jember.
[4]. KPA Nasional. 2010. Pedoman Program Pencegahan HIV Melalui
Transmisi Seksual. Jakarta : Komisi Penanggulangan AIDS Nasional
[5]. KPA Nasional. 2011. Rangkuman
Eksekutif Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia 2006-2011. Jakarta
: KPAN.
[6]. Kemenkes RI. 2011. Laporan
Situasi perkembangan HIV dan AIDS di Indonesia. Jakarta : Kemenkes RI.
[7]. KPA Nasional, 2008. Startegi Komunikasi Penanggulangan HIV dan
AIDS di Indonesia. Jakarta : KPAN.
[8]. Kenderwis & Yustina I. 2009. Kemampuan Tawar Pekerja Seks
Komersial Dalam Penggunaan Kondom Untuk Mencegah Penularan HIV/AIDS di
Kabupaten langkat. Majalah Kesehatan
Masyarakat Indonesia. Volume 34 Nomor 3. September 2009 : 133-140.
[9]. Lokollo, F.Y. 2010. Perilaku Wanita Pekerja Seksual Tidak Langsung Dalam
Pencegahan IMS, HIV dan AIDS di Pub dan Karaoke, Cafe dan Diskotik di Kota
Semarang. Jurnal Promosi Kresehatan
Indonesia Vol. 5 / No.1 /Janiari 2010. Semarang : Magister Promosi
Kesehatan dan Ilmu Perilaku FKM Universitas Diponegoro.
[10].
Widyastuti. 2006. Perilaku Menggunakan Kondom Pada Wanita Penjaja Seks Jalanan
di Jakarta Timur tahun 2006. Jurnal
Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 1 Nomor 4. Februari 2007 : 161-167.
[11]. KPA Nasional. 2010. Strategi Dan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV Dan AIDS Tahun
2010 – 2014. Jakarta: Komisi Penanggulangan AIDS Nasional.
[12]. Adisasmito,
W. 2010. Sistem Kesehatan. Jakarta :
PT RajaGrafindo Persada
[13]. Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2006. 2006. Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. Jakarta: Sekretariat Kabinet
Republik Indonesia.
[14]. Surat Keputusan Bupati Jember Nomor : 188.45/39/012/2007. 2007. Penutupan Tempat Layanan Sosial Transisi
untuk Pekerja Seks Komersial dan Penutupan Prostitusi Di Kabupaten Jember
Bupati Jember. Jember: Sekretariat Jember.
[15]. Surat Keputusan Bupati Jember Nomor:
188.45/ 330.1/ 012/ 2012. 2012. Komisi
Penanggulangan AIDS Kabupaten Jember. Jember: Sekretariat Kabupaten Jember
[16]. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20
Tahun 2007. 2007. Pedoman Umum
Pembentukan Komisi Penanggulangan AIDS dan Pemberdayaan Masyarakat dalam Rangka
Penanggulangan HIV dan AIDS di Daerah. Jakarta: Departemen Menteri Dalam
Negeri Republik Indonesia
Langganan:
Postingan (Atom)